Saat senja menyelimuti Kota Mataram, bayangan seorang pria tua terlihat di tepi jalan. Dialah Kakek Muhaimin, yang akrab disapa Kakek Imin. Dengan gerobak kayu sederhana, ia menjajakan jagung bakar, makanan yang bukan hanya menjadi sumber penghidupannya tetapi juga bagian dari cerita panjang kehidupannya.

Kakek Imin telah menjalani profesi ini selama lebih dari empat dekade. Di usia 72 tahun, ia tetap bersemangat meski fisiknya tidak sekuat dulu. Tangan keriputnya yang mulai melemah tetap cekatan membalikkan jagung-jagung di atas bara api. Asap tipis yang membubung dari arang seolah menjadi saksi ketekunan dan konsistensinya. Aroma jagung bakar yang khas menyebar, memikat siapa saja yang melintas di jalan tersebut.

Gerobak sederhana milik Kakek Imin adalah simbol dari kesederhanaan hidupnya. Berisi jagung-jagung segar yang tersusun rapi, gerobak itu juga menjadi saksi perubahan zaman di Kota Mataram. Dari kota yang dulunya tenang hingga kini ramai dengan kendaraan dan gedung tinggi, Kakek Imin tetap setia di tempatnya, membawa kehangatan tradisi di tengah gemuruh modernitas.

“Jagung ini bukan sekadar makanan,” ujar Kakek Imin ketika diajak berbincang. “Ini cara saya menjaga tradisi dan mencari nafkah dengan jujur.” Baginya, jagung bakar adalah medium untuk berbagi rasa dan cerita dengan banyak orang, dari anak-anak hingga orang dewasa, dari penduduk lokal hingga wisatawan.

Di balik gerobaknya, ada perjuangan hidup yang tak pernah berhenti. Kakek Imin harus bangun pagi-pagi untuk membeli jagung dari pasar, mempersiapkan gerobaknya, dan memastikan arang tetap kering meski musim hujan mengguyur. Ia bekerja dari sore hingga malam, menghadapi panas matahari dan angin dingin malam dengan senyuman dan semangat yang tak pudar.

Bagi sebagian pelanggan, Kakek Imin bukan hanya penjual jagung. Ia adalah sosok yang hangat dan bersahabat. Mereka yang sering membeli jagung darinya kerap berbagi cerita, dari masalah pekerjaan hingga kisah pribadi. Dalam percakapan sederhana itu, Kakek Imin memberikan kesan bahwa hidup, seberat apa pun, bisa dijalani dengan rasa syukur dan kerja keras.

Saat malam tiba, jalanan mulai lengang, dan Kakek Imin menutup gerobaknya. Hari yang panjang berakhir, tetapi kepuasannya tetap terpancar. Meski hidupnya sederhana, ia merasa cukup dengan apa yang ia dapatkan. Baginya, setiap jagung yang terjual adalah langkah kecil untuk menjaga tradisi, mempererat hubungan antarwarga, dan memberikan pelajaran diam-diam tentang arti kesetiaan dan ketulusan.

Di tengah gemerlapnya modernitas Kota Mataram, Kakek Imin adalah pengingat bahwa kebahagiaan sejati tidak selalu datang dari kemewahan, melainkan dari kesederhanaan yang dijalani dengan cinta dan ketulusan. Jagung bakar yang ia jual mungkin terlihat biasa, tetapi kisah di baliknya adalah sesuatu yang luar biasa, sebuah warisan yang tak ternilai harganya.