Mataram- Saur Marlina Manurung atau dikenal Butet Manurung menjadi narsumber dalam Simposium Relawan (Seminar Inspirasi Kerelawanan Pendidikan) yang dilaksanakan di Gedung Dome Universitas Mataram, pada Sabtu, 2 November 2019.

Butet Marunung dikenal di dalam dunia Pendidikan dan Volunteer sebagai wanita inspiratif yang telah memiliki banyak pengalaman mengajar dan membangun pendidikan bagi anak-anak di pedalaman khususnya Orang Rimba atau Suku Anak Dalam yang terletak di Jambi, Indonesia. Ia mengajar anak-anak di pedalaman seperti baca, tulis, dan hitung dan mendirikan Sokola Rimba yang menjadi wadah bagi mereka untuk belajar.

Butet Manurung menceritakan bagaimana proses awal ia mengajar di pedalaman yang kala itu sulit menerima sesuatu dari luar. Perjuangan ia sejak tahun 1999 dengan mendirikan Sokola Rimba. Namun, setiap hal yang dilakukan tidak jauh dari tantangan. Penolakan yang terus menerus dilakukan oleh Orang Rimba tidak sedikit. Butuh waktu lama untuk diterima oleh Orang-orang Rimba.

Mereka memilki pengalaman yang buruk karena berinteraksi dengan orang luar. Perlu waktu berbulan-bulan dengan aksi persuasif dilakukan oleh Butet Marunung. Akhirnya dengan kegigihan yang tinggi, orang-orang beserta anak-anak rimba mulai menerima dan menyesuaikan dengan belajar baca, tulis, dan hitung.

“Awal mengajar saya terus ditolak sampai disuruh pergi sama mereka (Orang Rimba),” ungkapnya, (2/11/2019).

Butet Manurung saat mengajar anak-anak Sokola Rimba. Sumber foto Instagram: @butet_manurung

Proses belajar dan pendekatan yang ia lakukan pun tidak seperti anak-anak di sekolah kota pada umunya. Tetapi ia lebih mencampur adukan bermain dan belajar. Kala itu ia membawa papan dan buku kemudian mengenalkan abjad A, B, C dan angka. Selama proses belajar, anak-anak sudah bisa menerapkan segala ilmu yang didapatkan. Seperti menghitung belanjaan ketika ke pasar, dan menjual hasil tani mereka.

Penanaman pendidikan literasi yang kuat dilakukan oleh ibu beranak dua ini guna membekali mereka agar tidak mudah ditipu oleh pihak asing terkait lahan dan pepohonan di sana. Ia menceritakan Orang Rimba gampang sekali tertipu jika disodorkan kertas yang isinya mereka tidak bisa baca dan kepala suku hanya disuruh untuk cap jempol sebagai tanda setuju. Tanpa mengetahui apa isi dari kertas tersebut yang ternyata adalah pemindahan lahan atau penebangan pohon.

“Akibat minimnya literasi, mereka sering disalah gunakan oleh pihak asing,” sambungnya.

Seiring perjuangan gigih Butet Manurung mengajar mereka membuahkan hasil. Anak-anak Rimba mulai pandai berinteraksi dan membaca, sehingga membuat ia merasa sangat terharu dan melompat kegirangan di balik pohon kala seorang anak rimba mulai bisa membaca dan berinteraksi dengan pihak luar.

Jika Orang Rimba kuat dalam literasi, maka ketika terjadi pengambilan lahan, ia bisa melawannya dengan hasil yang mereka baca melalui buku-buku yang kala itu Butet Manurung tinggalkan. Mereka mengandalkan buku bacaan untuk menghadapi para perampas dan pihak luar yang mencoba mengganggu tanah mereka

“Setelah beberapa waktu, aku meninggalkan buku bacaan disalah satu tempat. Kemudian aku balik ke mereka dan aku bertanya kemana buku itu, mereka berkata sudah dibakar. Kemudian aku coba meninggalkan buku tebal yang berisi kitab hukum undang-undang termasuk pasal-pasal pencurian lahan, hak asasi masyarakat, dan aku balik ternyata buku itu tidak dibakar. Kata mereka buku tersebut berharga dan mereka mengucapkan isi buku tersebut kepada mereka yang hendak memotong pohon dan mengambil lahan,” jelasnya, (2/11/2019).

Hasil dari kegigihan dan tekad yang kuat Butet Manurung membuahkan hasil bagi anak-anak didiknya. Beberapa muridnya sudah mampu berbicara di Forum Internasional, yaitu Canada World Congress Youth Indigenous Conference. Mereka mulai menyampaikan segala aspirasi, permasalahan, dan lainnya.  Tetapi bagi masyarakat adat mereka, keberhasilan yang mereka dapatkan merupakan suatu kesalahan besar.

“Jika anak-anak rimba pergi bersekolah dan tidak pernah kembali ke tanah mereka, maka bagi Orang Rimba itu merupakan suatu kegagalan,” jelasnya.

Karena bagi mereka keberhasilan dalam tolak ukurnya adalah mampu mengusir para pelaku penebangan hutan secara liar, pengambilan tanah, serta permasalahan yang memang menjadi ancaman bagi mereka.

Perjuangan yang tak kenal lelah terus dilakukan oleh Butet Manurung hingga sekarang. Harapan besar yang ia inginkan agar mereka terus bersekolah dan bisa melindungi keluarga mereka atas segala ancaman dengan berbekal pendidikan yang sama dengan anak-anak lainnya.

Belajar bersama anak-anak Sokola Rimba. Sumber foto Instagram: @butet_manurung.

Atas kegigihannya Butet Manurung mendapatkan penghargaan Heroes of Asia pada tahun 2004 dan Peraih Nobel Asia Remon Megsaysay pada tahun 2014.

Kini, Sokola Rimba yang didirikan oleh Butet Manurung telah terdapat pada 16 titik yang tersebar di Indonesia, seperti Flores, Yogyakarta, Aceh, Halmahera, Bulukumba, Klaten, Sumba, Makassar, dan Gunung Egon.