Pasangan Pengantin

Mataram – Tradisi Nyongkolan yakni prosesi adat masyarakat Sasak yang mengiringi pernikahan kini menghadapi tantangan serius. Gendang Beleq, alat musik tradisional yang selama ini menjadi simbol sakral dalam acara ini mulai tergeser oleh kecikmol dan musik modern seperti organ tunggal (alai-alai). 

Nyongkolan merupakan bagian dari rangkaian panjang prosesi adat pernikahan Sasak. Tradisi ini dimulai dengan merariq (penculikan simbolis mempelai perempuan oleh mempelai laki-laki) yang menunjukkan keseriusan dalam melamar, diikuti dengan selabar (pemberitahuan kepada keluarga perempuan), hingga pengambilan wali nikah dan ijab kabul. Puncaknya adalah Nyongkolan, di mana keluarga besar mempelai laki-laki bersama kedua pengantin diarak menuju rumah keluarga mempelai perempuan sebagai bentuk penghormatan dan rasa suka cita. 

Gendang Beleq

Pada zaman dahulu, Nyongkolan selalu diiringi musik tradisional Gendang Belek yang kental dengan budaya Sasak. Namun, mulai tahun 1994, muncul inovasi dari masyarakat berupa kecikmol yang bentuknya menyerupai drumband dan menggunakan speaker besar. Inovasi ini mendapat respons beragam dari masyarakat; sebagian menganggapnya sebagai bentuk variasi dan modernisasi, sementara yang lain merasa tradisi menjadi tergerus.

Meskipun dianggap sebagai bentuk kreativitas masyarakat, banyak pihak mengkhawatirkan bahwa penggunaan kecikmol secara berlebihan dapat mengikis nilai-nilai sakral Nyongkolan. “Kecikmol ini hanya tambahan, tetapi jangan sampai menggantikan esensi asli tradisi kita. Gendang Beleq adalah identitas kita,” ungkap Mamiq Sumardi, salah satu tokoh adat Sasak.

Kecikmol

Menurutnya, tradisi adat memiliki ciri khas yang harus dipertahankan dan campur tangan pemerintah dalam bentuk peraturan daerah (perda) sangat diperlukan untuk menjaga kelestariannya. Langkah ini dinilai mampu mengembalikan prosesi Nyongkolan ke bentuk aslinya tanpa mengabaikan kebutuhan modernisasi. 

Selain itu, edukasi masyarakat juga dinilai penting untuk menanamkan pemahaman bahwa tradisi Nyongkolan bukan sekadar arak-arakan, tetapi memiliki nilai-nilai sakral juga simbol rasa syukur dan penghormatan. “Kita perlu melibatkan generasi muda dalam melestarikan adat ini. Mereka harus tahu bahwa Nyongkolan bukan hanya hiburan, tapi juga bagian dari jati diri Sasak,” tambah laki-laki 60 tahun yang kerap disapa Miq Sumar tersebut.

Perubahan-perubahan ini bisa dikategorikan ancaman, masyarakat Lombok diharapkan dapat terus merayakan tradisi Nyongkolan dengan semangat yang sama seperti dahulu, tapi dengan kesadaran akan pentingnya melestarikan budaya yang menjadi identitas bersama. Melalui upaya bersama antara masyarakat dan pemerintah serta harmonisasi antara tradisi dan modernisasi diharapkan dapat tercapai, menjaga Nyongkolan tetap hidup dari generasi ke generasi.

Penulis: Niza Ervia Seftiawati

Sumber foto: Andre Balada, Burhan Ali Akbar dan Nia Dirgha