Menjelang siang, di hari minggu yang begitu cerah, Jalanan Udayana Kota Mataram yang sedari pagi dipadati oleh puluhan pedagang kecil dan ratusan masyarakat yang begitu antusias menikmati hari bebas kendaraan itu, kini mulai sepi dan tergantikan suara bising kendaraan.
Dibawah jembatan jalan yang sudah mulai dibuka itu pula, ramainya suasana kota menemani sunyinya kesendirian seorang gadis belia berambut hitam panjang yang diikat kebelakang sedang mengayuh sebuah sampan kecil mengarungi sepanjang aliran Sungai Jangkok yang begitu keruh.
Namanya Riska, usianya baru 11 tahun. Dengan tubuhnya yang kecil dibalut baju dalam putih, celana pendek dan sepasang sendal berwarna biru ia tidak mempedulikan teriknya sinar matahari membakar kulitnya yang terlihat menghitam. Baginya tidak ada yang lebih penting daripada sesegera mungkin menukarkan gelas dan botol plastik yang telah ia kumpulkan dengan uang untuk membeli sebungkus nasi untuk mengisi perutnya yang sudah seharian tidak diisi.
Setelah sebuah box kecil yang dibawanya terisi penuh oleh gelas dan botol plastik, ia menepi lalu memasukkannya kedalam sebuah karung yang besarnya sekitar dua pertiga dari besar tubuhnya. Karena karungnya belum terisi penuh ia lalu kembali mendayung dan mengumpulkan gelas dan botol plastik itu lagi. Jika dihitung, setidaknya dia sudah bolak balik sekitar empat kali hingga karung yang dibawanya itu terisi penuh. Setelahnya dia beranjak naik ke pinggir jalan di tepi sungai Jangkok yang lumayan lebar. Sembari duduk beristirahat, sesekali ia mengusap wajahnya dengan baju dalamnya yang putih itu.
Saat ditemui ia bercerita kalau kedua orang tuanya sudah bercerai. Ibunya balik ke kampung halamannya yang ia sendiri tidak tahu dimana, sedang ayahnya pergi merantau sejak 2 bulan yang lalu namun sampai sekarang belum ada kabar sama sekali mengenai kondisinya. Lebih lanjut ia menuturkan kalau sekarang ia tinggal berdua bersama neneknya yang sudah tua dan sering sakit-sakitan. Dia tidak tahu berapa usia neneknya hanya saja neneknya juga mengumpulkan sampah plastik sama sepertinya.
Kehidupan keluarga kecilnya tinggal di sebuah gubuk kecil yang bangunannya banyak sekali retakan sisa gempa 4 tahun silam. Kayu atapnya banyak yang rapuh sehingga pinggiran atap rumahnya terlihat seperti ompong. Karena kondisi keluarga yang berantakan serta rumah yang semakin parah itulah yang membuat ayah dari anak semata wayang itu memutuskan untuk pergi merantau ke Malaysia, karena baginya uang hasil memulung sampah plastik hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan perut untuk dua kali makan sehari saja, itupun kadang-kadang, sedangkan untuk keperluan lain tidak cukup.
Sama halnya seperti anak kecil pada umumnya, kalau besar nanti Riska memiliki cita-cita menjadi seorang dokter. Bedanya dia punya alasan yang sederhana tapi mulia, supaya bisa memberi pengobatan gratis untuk orang tua seperti neneknya, itu saja katanya. Dilain sisi ada keinginan terdekatnya, bermain sepulang sekolah atau menikmati libur di hari minggu. Namun melihat kondisinya sekarang, rasanya keinginan itu terlalu jauh.
Rutinitas hariannya adalah sepulang sekolah Riska biasanya buru-buru makan lalu bergegas mengambil karung untuk mencari sampah plastik. Bukan tidak sempat makan di sekolah, hanya saja Riska memang tidak membawa uang jajan ke sekolah sehingga terpaksa harus menahan lapar sampai dengan siang harinya. Setelah makan siang ia biasanya mencari sampah plastik di sepanjang Jalan Udayana dan beberapa kelurahan disekitarnya. Kalau ke sungai tidak setiap hari, hanya kalau di sungai memang sedang banyak sampah yang mengambang. Kalau bagi pemerintah sampah yang berserakan di sungai adalah masalah, bagi Riska itu adalah berkah untuk kebutuhan makan satu hari kedepan.
Bagi Riska, sampah sungai yang begitu banyak lebih dia sukai daripada sekitar 4 jam an berjalan mencari gelas dan botol plastik yang keberadaannya tidak pasti itu. Menurutnya hasil dua jam memulung di sungai sebanding dengan sehari sampai dua hari memulung di darat. Tapi tetap saja, ada resiko besar yang kapan saja bisa menghampirinya. Sungai yang begitu lebar dan lumayan dalam, ditambah dengan cuaca yang kadang tidak menentu serta keterampilan berenang yang sama sekali tidak ada dalam diri Riska membuatnya kadangkala merasa takut saat memulung di sungai. Namun namanya hidup, ada perut yang harus senantiasa diisi, mau tidak mau segala rintangan harus tetap dilewati. Padahal neneknya juga melarangnya untuk memulung ke sungai hanya saja memang hasilnya lebih menjanjikan dibanding berkeliling.
Perihal harapan, Riska terlihat berat untuk berbicara. Ada asa yang ia sembunyikan, ada cemas yang juga ia takutkan. Matanya terlihat berbinar, dibalik wajahnya yang merah dan kian tertunduk, dengan terbata-bata ia berucap “Pengen tetep sekolah, pengen main sama temen, pengen nenek sembuh, pengen lihat ayah sama ibu balik lagi kak” katanya sambil kembali mengusap wajahnya dengan baju dalam putih yang kini sudah tidak putih lagi.
Tak terasa sekitar 30 menitan mendengar cerita anak 11 tahun itu, dari arah yang cukup jauh terlihat perempuan paruh baya dengan hijab warna birunya berjalan tertarih dengan memikul sebuah karung besar setengah penuh dengan tongkat besi kecil di tangan kanannya. Riska berdiri dan menyapa perempuan itu yang ternyata adalah neneknya.
Namanya Aisyah, namun biasa disapa inak Badri. Dilihat dari wajahnya, usianya sekitar 60 tahunan. Dengan sikap yang sopan beliau berucap salam ke arah kami, mengajak berkenalan sampai akhirnya mengajak sang cucu kesayangan beranjak pulang. Dari jarak sekitar 10 meteran, terdengar suara lembut sang nenek kepada sang cucu “Hari ini mau dibelikan lauk apa?”