
Dalam unggahannya, pengguna tersebut mengaku bahwa dirinya dan teman-temannya merasa kapok dan tidak akan kembali ke Lombok karena suara toa masjid yang dinilai terlalu keras. Unggahan ini pun memicu perdebatan sengit di dunia maya, dengan sejumlah pengguna mendukung pandangannya.
Namun, tidak semua wisatawan sepakat dengan narasi tersebut. Sebagian besar wisatawan lain justru menilai bahwa keberadaan masjid dan suara toa merupakan bagian dari kekayaan budaya dan tradisi lokal yang memperkaya pengalaman wisata di Lombok.
Salah satu wisatawan, Anisa, mengungkapkan pandangannya. “Bagi saya, suara dari toa masjid bukanlah gangguan. Justru itu menjadi pengingat bahwa saya sedang berada di daerah yang memiliki ciri khas, yang jarang saya temui di daerah lain. Lombok tidak hanya menawarkan keindahan alam, tetapi juga pengalaman serta perasaan yang unik. Saya menikmati liburan saya di sini,” kata Anisa saat ditemui di kawasan Senggigi, Sabtu (08/12/24).
Pandangan serupa diungkapkan oleh salah satu pendatang, Alvin, yang sudah 3 tahun menjadi mahasiswa di lombok. “Suara toa dari masjid adalah bagian dari kehidupan masyarakat Lombok. Ini menunjukan harmoni antara alam yang indah dan aktivitas serta kebiasaan masyarakat lokal. Saya sangat menghormati itu, dan hal ini tidak mengurangi kenyamanan saya selama tinggal disini” ujarnya.
karena itulah masyarakat dan pelaku pariwisata harus bersama-sama melestarikan kekayaan budaya Lombok tanpa mengurangi kenyamanan wisatawan. Keberagaman ini adalah daya tarik Lombok, pendatang atau wisatawan yang datang diminta untuk memahami hal tersebut.
Meski menjadi polemik, Lombok tetap senantiasa menyajikan keindahan alamnya, budaya, tradisi, dan itu menjadi ciri khas Pulau Lombok. Wisatawan diminta menikmati keunikan Lombok dengan sikap terbuka dan saling menghormati.