Era Digitalisasi di Indonesia saat ini tengah bersinggungan dengan jayanya perkembangan teknologi dan informasi dunia. Terbukti pada tahun 2020 tingkat penetrasi internet berada diurutan keempat dunia yang mencapai 69,8 persen dan pada tahun 2026 diperkirakan akan mencapai 82,53 persen. Tak hanya warga negara Indonesia, masyarakat di seluruh dunia kini berlomba-lomba untuk berintegrasi ke dalam wadah aktivitas 4.0. Hal ini terjadi karena kemajuan globalisasi dan modernisasi. Tak sedikit permasalahan baru pun bermunculan. Jumlah serangan siber di Indonesia terbilang tinggi, bahkan mencapai 1,6 miliar serangan selama 2021. Sementara itu, tahun 2022 pada pertengahan tahun sudah tercatat 700 juta serangan. Ditambah lagi, dalam setahun terakhir setidaknya telah ada tujuh kasus kebocoran data baik yang dikumpulkan, disimpan, dan dikelola pihak swasta maupun pemerintah.

Baru-baru ini masyarakat Indonesia digemparkan dengan kasus pembajakan yang dilakukan oleh “Bjorka” hacker yang mengaku dirinya berasal dari Polandia. Ia diduga meretas data pribadi Warga Negara Indonesia dari situs Kominfo, bahkan Bjorka juga mengklaim telah mengakses dokumen rahasia milik BIN yang dikirimkan ke Presiden Joko Widodo. Kasus ini menandakan regulasi keamanan dunia digital Indonesia rentan untuk dibobol, karena instansi tinggi negara seperti Kominfo dan BIN berhasil diretas. Dirujuk dari digitaltranformation.co.id, selama bertahun-tahun, website resmi pemerintah Indonesia sering menjadi objek peretasan. Badan Siber dan Sandi Negara pun melaporkan bahwa pada tahun 2021, lebih dari 1,6 milyar serangan siber telah terjadi.

Upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia

Dengan banyaknya kasus peretasan di Indonesia, berikut upaya yang dilakukan pemerintah dalam penanganan cyber crime:

1. Mengadakan sosialisasi dan edukasi bersama Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) tentang penggunaan media sosial. Dengan begitu pemerintah berharap masyarakat semakin mudah tahu tentang cyber crime serta menjadi salah satu tanggung jawab pemerintah dalam melindungi masyarakat melalui platform pengaduan kejahatan siber yang juga telah dibuat.

2. Indonesia memiliki kebijakan dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Tahun 2016.

3. Kementerian Komunikasi dan Informasi memiliki tim tanggap untuk menjaga keamanan dunia maya di indonesia.

4. Selain kolaborasi dengan pihak kepolisian dan Kominfo, pemerintah juga telah menggerakkan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) untuk memimpin koordinasi dalam melaksanakan keamanan siber. Serta TNI telah membentuk unit dan pertahanan siber.

Apakah upaya pemerintahan telah cukup untuk memerangi kejahatan tindakan peretasan di Indonesia?

Walaupun telah dibuat beberapa upaya oleh pemerintah terkait dengan permasalahan tersebut, namun para pemegang kebijakan justru terkesan meremehkan masalah ini. Misalnya, mereka kerap mengatakan bahwa data yang diretas adalah data lama yang belum diperbarui atau data tersebut tidak termasuk data yang bersifat penting. Pemerintah yang terlibat dengan santai meminta kepada sang hacker untuk tidak lagi meretas data bukannya bertindak tegas dalam mengamankan data.

Sikap acuh tak acuh pemerintah yang ditunjukkan ke publik ini sangat berbahaya. Ini tidak saja menunjukkan ketidakmampuan pemerintah dalam melindungi keamanan data, tetapi juga dapat menggiring persepsi pada masyarakat bahwa data kita tidaklah penting dan bernilai. Padahal pemerintah seharusnya memberikan peringatan agar masyarakat sadar akan pentingnya menjaga keamanan data pribadi mereka.

Sebenarnya pemerintah pusat maupun daerah sedang bersemangat melakukan transformasi digital yang mengharuskan mereka mengumpulkan data-data masyarakat dalam jumlah besar. Namun, pemerintah justru menunjukkan kegagapan dan ketidaksiapan mereka untuk memitigasi peretasan. Pemerintah membuat suatu sistem yang besar tanpa mementingkan sistem keamanan yang akan dihadapi.

Kontribusi terbesar Bjorka pada negara adalah ‘mengekspos’ lemahnya sistem pertahanan dan keamanan siber kita, serta menunjukkan rentannya sistem informasi kita terhadap pembobolan. Bjorka membuat kita (utamanya pemerintah) terdesak untuk belajar membenahinya, baik dengan membuat kebijakan, aturan, maupun pedoman. Secara tidak langsung, membuat pemerintah tergesa-gesa mengesahkan UU PDP tentang Perlindungan Data Pribadi.

Jika melihat dari riset tahun 2019 dari Amerika Serikat (AS) menunjukkan bahwa pada organisasi yang menekankan pentingnya keamanan siber, anggotanya lebih peka terhadap potensi serangan siber dan lebih patuh terhadap sistem keamanan yang dibangun. Inilah yang harus diikuti pemerintah dalam hal antisipasi dan penanganan suatu kejahatan seperti hacker bjorka tersebut. Pemerintah harus bisa lebih tegas dan tanggap menangani peretasan dalam bentuk apapun yang berpotensi mengancam keamanan data negara dan data seluruh masyarakat Indonesia.

Penulis : Tiwi, Laras, Irma, dan Nadia Penyunting : Mutia