Sejak akhir masa orde baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, Islamisme mulai menjamur di Indonesia. Islamisme yang dimaksud dalam hal ini adalah gerakan kemasyarakatan yang berbasis keislaman, setidaknya menyebut diri mereka kalangan Islam. Gerakan ini tidak hanya dalam konteks advokasi, politik maupun sosial melainkan juga sebagai gerakan budaya yang kemudian massif. Sejak awal 2000-an, Islamisme kemudian menjadi salah satu genre baru dalam budaya massa khususnya layar kaca di Indonesia sampai dengan sekarang. Gerakan massa Islamisme ini dibalut dengan berbagai bentuk mulai dari ceramah yang disiarkan di TV dengan pembawa acara dan Ustad layar kaca, melalui film-film bergenre Islam seperti “Ayat-Ayat Cinta” hingga sinetron yang tidak pernah lupa menyisipkan nilai-nilai Islam.
Memasuki era digital, cara masyarakat dalam beragama kemudian mulai berubah. Masyarakat yang biasanya menikmati siaran dengan nuansa Islam melalui layar TV yang notabene dikontrol oleh perusahaan media dan negara kemudian beralih menonton segala macam hiburan melalui telepon pintar yang ada di genggaman mereka. fenomena ini tentu saja tidak hanya mengubah pola sentralistik siaran menuju desentralistik, akan tetapi juga membuka peluang berbagai narasi keislaman yang berbeda-beda mulai mucul di berbagai sosial media. berbagai macam narasi keislaman yang selama ini mungkin tidak pernah muncul melalui siaran TV kini banyak bertebaran tanpa control dari negara melainkan perusahaan multinasional. fenomena ini menjadi tonggak perubahan cara masyarakat kontemporer memahami dan memaknai narasi keislaman yang menurut mereka sesuai dengan nilai-nilai yang mereka anut.
Fenomena ini tentu saja tanpa tantangan, selama ini, narasi keislaman yang mendominasi di Indonesia adalah narasi keislaman yang toleran dan saling menghargai sesame warga negara. Narasi ini tentu saja tidak lepas dari pengaruh organisasi terbesar Islam di Indonesia yakni Nahdlatul Ulama (NU). narasi keislaman semacam ini tentu saja dianggap paling cocok bagi NKRI karena struktur dan budaya masyarakat Indonesia yang sangat beragam dengan berbagai suku, agama, budaya dan Bahasa yang ada.
Era digital membuat narasi-narasi tandingan mulai bermunculan, bahkan tidak jarang narasi ekstrimisme hingga bernuansa terorisme juga bermunculan melalui berbagai platform digital. Tidak berhenti sampai di situ, ratusan bahkan ribuan berita bohong bernuansa agama yang berbau profokatif dan memecah belah integrasi juga dengan mudah diproduksi dan dikonsumsi oleh masyarakat. Hal ini tentu saja tantangan bagi persatuan bangsa dan tentu saja bagi narasi keislaman yang menawarkan kesejukan, toleransi dan moderasi beragama yang ada di Indonesia.
Fenomena negative yang ditimbulkan oleh era digital tidak dapat diabaikan. negara berkepentingan untuk menjaga integrasi bangsa melalui upaya-upaya persatuan. tentu saja ada banyak cara yang dapat ditempuh negara untuk menangai masalah ini. akan tetapi, salah satu kelompok masyarakat yang dapat dioptimalkan untuk membawa Kembali narasi persatuan bangsa, toleransi dan moderasi beragama adalah penyuluh agama.
Penyuluh agama menemukan titik urgensi keberadaan mereka ditengah banyaknya narasi perpecahan berbasis agama di era digital. penyuluh agama dapat menjadi agen moderasi beragama, menyampaikan narasi persatuan bangsa di tengan-tengah masyarakat. Urgensi dari mengoptimalisasi penyuluh agama ini tentu saja bukan tanpa alasan, merekalah orang-orang yang berbaur dengan masyarakat selama ini, mereka adalah orang-orang yang secara langsung terlibat secara aktif dalam kegiatan-kegiatan keagamaan di tengah masyarakat, maka dari itu mengoptimalkan keberadaan mereka tentu saja dapat menjadi salah satu cara untuk menjaga persatuan bangsa.
Setidaknya, ada beberapa hal yang menurut saya menjadi alasan kenapa penyuluh agama menjadi semakin penting di era digital. Pertama, media digital meninbulkan fraksi di tengah masyarakat dan fraksi tersebut tergantung dari narasi apa yang sedang berlangsung di berbagai platform media digital. keadaan ini tentu dapat menimbulkan perpecahan, kehadiran penyuluh agama diperlukan untuk memberikan narasi yang lebih damai dan toleran di tengah masyarakat sehingga perpecahan dapat dicegah.
Kedua, minimnya literasi media di tengah masyarakat. Minimnya literasi media digital di tengah masyarakat memungkinkan masyarakat untuk percaya dengan apapun yang mereka dengar, baca dan tonton di berbagai platform media digital tanpa pernah mencoba melakukan verifikasi, termasuk narasi-narasi perpecahan berbasis agama. Kondisi ini tentu tidak dapat dibiarkan, penyuluh agama dapat menjadi agen yang mengedukasi masyarakat tentang fenomena media digital sehingga masyarakat tidak terpancing dengan berita provokatif, berita bohong yang banyak beredar. Oleh sebab itu, penting juga bagi negara untuk mempertimbangkan generasi muda sebagai penyuluh agama. setidaknya, generasi muda dapat memerikan literasi media pada generasi yang lebih tua di tengah masyarakat.
Terakhir, penyuluh agama juga dapat menjadi agen gerakan kegiatan-kegiatan keagamaan yang mengutamakan persaudaraan, persatuan, dan moderasi beragama di tengah masyarakat. kondisi budaya dan sosial masyarakat kontemporer tidak dapat dipungkiri telah banyak berubah. Kondisi ekonomi, sosial, gaya hidup, moral dan etika juga berubah. Penyluh agama harus peka terhadap perubahan-perubahan tersebut. Melalui refleksi dan hasil pengalaman berbaur dengan masyarakat, Penyuluh agama harusnya mampu mempersuasi masyarakat untuk bersama membuat gerakan-gerakan positif yang dapat memperbaiki kehidupan sosial, ekonomi, gaya hidup, moral dan etika masyarakat sehingga tidak hanya integrasi yang terwujud melainkan juga peningkatan kualitas hidup masyarakat.
Penulis: Aisatul Husna, S.Sos.