Di balik gelapnya langit malam, Sri Wahyuni memulai rutinitasnya di sudut jalan Kota Tua, Ampenan. Sejak pukul lima sore sampai delapan pagi, ibu anak satu ini masih setia duduk di lapaknya. Selayaknya warung, Sri menjual nasi bungkus, rokok, minuman, kerupuk, jajanan seperti kuping gajah dan kacang hingga bensin untuk pengendara yang lewat.
“Soalnya kalau warung lain kan tutup pas malam, justru disitu rame terus apalagi banyak orang pulang kerja dari arah senggigi juga” ungkap Sri, sambil merapikan kerupuknya di keranjang. Bagi sebagian orang, malam menjadi waktu untuk mengistirahatkan jiwa dan raga. Namun, ibu umur 44 tahun ini memilih untuk mencari peluang di bawah lampu temaram.
Wanita dengan gincu warna merah merona ini meneruskan warung pinggir jalan dari sang ayah. Sejak kecil, wanita ini sudah terbiasa ikut ayahnya berjualan sejak kecil. Dulunya, sempat ingin menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW), tapi takdir berkata lain. Walau malam-malam panjang sering terasa melelahkan, Sri tetap bersikap ramah pada pelanggannya. “Ngantuk sih, tapi ya fine-fine aja” kata Sri sambil tertawa kecil.
Sri Wahyuni bukan sekadar pedagang. Sri adalah pelita yang menyinari gelapnya malam, memberikan kehangatan lewat keramahannya. Di balik lapaknya yang sederhana, ada semangat besar yang tak pernah padam sebuah bukti bahwa ketulusan selalu menemukan jalannya untuk bersinar.