Sebuah sudut jalan Monjok Culik, Kota Mataram, matahari mulai meredup, sinarnya menghangatkan tanah yang berdebu dan mengguratkan bayangan panjang pada kendaraan yang terparkir di pinggir jalan. Jalanan mulai ramai oleh kendaraan yang melintas, sementara udara sore mengirimkan aroma yang khas, berbaur dengan wangi asap arang yang pelan-pelan mengepul. Di trotoar, terlihat seorang wanita berhijab hitam duduk dengan tenang, mengipasi sate yang sedang dibakarnya. Dialah Ibu Sumiati, sosok yang setia dengan pekerjaan sederhananya, menghidangkan sate hangat bagi para pembeli.

Di usia 57 tahun masih tampak kuat dan penuh semangat. Setiap hari, mulai pukul 14.00 hingga 22.00 malam, ia berjualan sate di pinggir jalan Monjok Culik, Kecamatan Selarapang, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat. Dengan peralatan yang sederhana, ia memanggang sate dengan kipas bambu, berusaha menghidupi keluarganya dari hasil usahanya ini. Pendapatan yang ia terima memang tak menentu, tetapi itu tak mematahkan tekadnya untuk tetap berjualan. Setiap tusukan sate yang ia panggang adalah bagian dari perjuangannya demi mencukupi kebutuhan sehari-hari keluarganya.

Meski penghasilan yang didapat tak selalu memadai, ia tak pernah mengeluh. Setiap sore, dengan senyum dan sapaan hangat, ia menyambut para pelanggan yang mampir untuk menikmati satenya. Kehidupannya mungkin terlihat sederhana, tetapi di balik itu ada keteguhan hati dan dedikasi yang luar biasa. Bagi Ibu Sumiati, sate yang ia jual bukan sekadar makanan, melainkan simbol dari kerja keras dan harapan.

Ibu Sumiati adalah gambaran nyata tentang ketulusan dan ketangguhan. Di tengah arus modernisasi, ia tetap bertahan dengan cara-cara tradisional, menggunakan kipas bambu untuk memanggang sate dengan cita rasa yang khas. Kehadirannya di Monjok Culik setiap sore tak hanya memberikan aroma lezat bagi para pelanggan, tetapi juga menjadi inspirasi bagi siapa saja yang melihatnya.