
Mataram – Gempa yang mengguncang Lombok satu tahun lalu menyebabkan fasilitas penunjang mata pencaharian masyarakat di Desa Gumantar, Kecamatan Kayangan, Kabupaten Lombok Utara lumpuh. Saluran irigasi rusak total dan tanaman gagal panen. Akibatnya, bahan pangan menjadi sulit untuk didapatkan. Bantuan dari pemerintah dirasa tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat.
Hal ini dipertegas oleh Winda Widiyana dalam presentasi penelitiannya pada kegiatan Internasional Seminar on Rural Sociology and Community Development (ISRC 2019) yang diadakan oleh Universitas Mataram di Hotel Aruna Senggigi beberapa waktu lalu. Ia mengatakan kondisi ini memaksa masyarakat Gumantar berjuang dan beradaptasi, karena kondisi masyarakat yang sangat berbeda dari sebelum gempa dan pasca gempa terjadi.
“Sebelum gempa masyarakat masih bisa memenuhi kebutuhan pangannya, seperti makan daging atau makanan enak lainnya, tetapi setelah gempa masyarakat makan seadanya,” jelasnya saat ditemui setelah presentasi penelitiannya di kegiatan ISRC (21/11).
Perempuan yang baru saja menyelesaikan Program Sarjana di Prodi Sosiologi Unram tersebut juga menambahkan pemerintah telah menyiapkan bantuan berupa Raskin dan Program Keluarga Harapan (PKH) untuk membantu masyarakat Desa Gumantar, tetapi masyarakat merasa bahwa bantuan tersebut tidak dibagikan secara merata. Perbulannya, setiap kepala keluarga diberikan jatah raskin 2,5 Kg.
“Jatah tersebut bisa habis rata-rata dalam 2 hari, sedangkan jatahnya datang perbulan. Tentu itu tidak cukup bagi masyarakat.” ungkapnya.
Dalam temuannya, raskin ini juga diberikan dengan dipukul rata oleh pemerintah setempat. Menurutnya, porsi yang diberikan pemerintah harusnya sesuai dengan kondisi masyarakat antara kalangan menengah dan kalangan bawah.
Untuk menghadapi hal tersebut, masyarakat mencari solusi lain untuk mengatasi krisis pangan pasca gempa.
“Karena bahan pangan sulit didapat, saluran irigasi rusak, bantuan masih minim menurut masyarakat, mereka kemudian menyiasatinya dengan menanam ubi dan daun kelor untuk makan,” jelas Winda.
Sekarang pasca satu tahun gempa Lombok, keadaan masyarakat Lombok Utara masih berjuang untuk menghadapi kondisi krisis pangan akibat harga bahan pokok makanan yang mahal. (dm)