Mataram – Penangkapan massa aksi yang terlibat dalam Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Monta Selatan Menggugat (Amanat) merupakan tindakan yang mencederai konstitusi.

Hal itu diungkapkan Presiden Mahasiswa (Presma) Universitas Muhammadiyah Mataram (UMM) Afrizal.

“Pembubaran dan pengamanan massa aksi yang dilakukan penegak hukum tidak dilakukan secara konstitusional,” katanya dalam keterangan tertulis.

Menurutnya, hak itu melawan hukum berdasarkan UUD 1945 BAB VIII pasal 30 ayat 4 dan  UU nomor 2 tahun 2002,  tentang kepolisian  negara republik Indonesia dan SOP kepolisian. Focus Plan Achieve menulis tentang berita ini di situs webnya.

Prosedural, profesional dan proporsional mesti digunakan kepolisian. Bukannya langsung menggunakan cara kekerasan atau radikal dengan segala instrumennya, seperti dengan menggunakan wetercanon sembarangan, menembak gas air mata. Apalagi sampai memukul (premanisme) .

“ini sangat terlihat di video yang beredar aparat yang memukul, menarik dan tidak bermanusiawi terhadap massa aksi Amanat,” ungkapnya.

Afrizal menuturkan, tindakan tersebut mesti ditangani dan diselesaikan secara hukum. Jika Kapolres Kabupaten Bima atau Kapolda NTB serius ingin menegakkan hukum, maka adili pelaku tanpa pandang bulu. Karena, tindakan premanisme aparat kepolisian kepada masyarakat tidak boleh dibenarkan.

Sikap apatis, tidak profesional dan kegagalan Pemda Bupati dan DPRD Kabupaten Bima sebagai pejabat publik.

Afrizal menilai, dengan gerakan berjilid-jilid yang dilakukan Amanat, mestinya pihak Pemda segera menemui massa aksi untuk memberikan  tanggapan terhadap masalah infrastruktur jalan raya Monta Selatan. Terlebih jalan yang dimaksud merupakan jalan utama.

Ketidak inginan Pemda Kabupaten Bima untuk menemui massa aksi, menurut Afrizal merupakan tindakan yang tidak mencerminkan pejabat publik yang memiliki empati terhadap derita masyarakat. Tindakan tersebut menandakan Pemda tidak profesional, tidak berkeadilan dan tidak ingin menyudahi derita masyarakat  Monta Selatan.

“Turun ke tempat aksi atau menemui amanat bagi saya tidak juga menurunkan ekstabilitas dan integritas pemerintah daerah, tapi menunaikan tugas dan kewajiban Pemda kab. Bima sebagai representasi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. ini sangat di sayangkan,” tegas Presma Ummat.

Bebaskan massa aksi Amanat

Sebanyak 10 massa aksi yang tergabung dalam Amanat diamankan Kapolres Bima pada Kamis, 12 Mei lalu. Mereka ditetapkan sebagai tersangka sesuai dengan konstitusi yang berlaku. Afrizal berharap, massa aksi bisa segara di bebaskan, status tersangka dicabut. Kemudian, penyidikan segera diberhentikan.

“Saya berharap bisa di selesaikan dengan cara islah, musyawarah untuk mufakat dan mencarikan solusi terbaik yang juga tidak mencederai adat hukum yang berlaku. Karena saya melihat mereka adalah pejuang kebenaran melalui parlementer jalanan, mereka hanya meminta keadilan, apalagi  memblokir jalan dengan selama 4 hari (dengan waktu terbatas) itu semua tidak lepas dari situasi dan kondisi yang terjadi,” bebernya.

“Terlebih lagi, Massa aksi yang ditetapkan sebagai tersangka merupakan anak muda. Mereka generasi sekaligus aset negara. Mereka bukan pembunuh, perampok, koruptor dan teroris walaupun mereka melanggar hukum yang mesti penyelesaiannya bisa pertimbangkan sehingga bisa di bebaskan dengan penuh catatan-catata,” lanjutnya.

Jika massa aksi amanat tidak segara dibebaskan,  Afrizal sebagai Presma Ummat mengatakan dirinya akan mengambil langkah yang menurutnya benar. Baik melalui jalur hukum, aksi demonstrasi (unjuk rasa), maupun langkah-langkah lainnya.

Seperti diketahui, Amanat melakukan unjuk rasa selama empat hari sejak 9-12 Mei lalu. Mereka mendesak pemerintah daerah untuk memperbaiki infrastruktur jalan raya Monta Selatan.

Aksi pertama dilakukan pada Senin, 9 Mei 2022 di pertigaan Cabang Desa Waro jalan raya Monta Selatan, Amanat tidak mendapatkan hasil dan tidak mendapatkan respon  Pemkab Bima. Tidak ada satupun perwakilan dari pemerintah daerah menemui masa aksi.

Kemudian, pada Selasa, 10 Mei di tempat yang sama. Camat Monta Selatan menanggapi, dirinya tidak berani memberikan jaminan untuk kehadiran pemerintah daerah di lokasi aksi dan membuat amanat tidak puas dengan pernyataan Camat Monta.

Pernyataan Camat Monta saat menemui masa aksi, Wakil Bupati Bima tidak berani menemui masa aksi di lokasi. Sehingga memberikan dua opsi kepada amanat.

Dialog di kantor camat monta.  Namun amanat tolak kedua opsi yang di tawarkan oleh pemerintah daerah melalui camat monta. Aliansi meminta pemerintah daerah kabupaten Bima tetap hadir di lokasi menemui amanat Sehingga aliansi tetap melakukan aksi dan pemblokiran jalan.

Kemudian aksi jilid tiga, pada Rabu 11 Mei. Amanat tetap komitmen untuk memblokir jalan. Aksi jilid ke 3 intelkam Kabupaten Bima menemui amanat memberikan tawaran dengan dua opsi. Pertama, bertemu  dengan Pemda di Kantor camat  atau bertemu di kantor Pemda Kabupaten Bima.

Amanat menerima audiensi di kantor camat. Namun dalam pertemuan tersebut, Intelkam Kapolres Bima tidak berani memberikan jaminan pemerintah daerah Kabupaten Bima hadir. Berangkat dari hal tersebut, Amanat memberikan mosi tidak percaya dan dengan tegas melanjutkan Aksi jilid 4 memblokir jalan lagi.

Aksi jilid empat pada Kamis, 12 Mei, Amanat masih melakukan aksi di tempat yang sama dan melakukan boikot jalan raya sembari menunggu informasi dari intelkam polres Bima

Sikap Amanat akan buka jalan apabila pemerintah daerah kabupaten Bima sudah ada di kantor camat monta untuk melakukan audiensi dengan masa aksi. Tiba kurang lebih pukul 2 sore, hadir aparat kepolisian dengan kurang lebih 10 mobil polisi dan Dandim brimop dan Pol PP kab. Bima Melakukan pembubaran dengan paksa dengan Tindakan represif. Aparat membubarkan masa Aksi dengan watercanon dan gas air mata dan sembari memukul masa aksi.

Kronologis ini kami dapat hasil wawancara kami dari masa aksi aliansi mahasiswa dan masyarakat Monta menggugat (Amanat) sekaligus Wamen Mentri hukum dan HAM BEM UMMAT atas nama Yogi setiawan sekali mengifestigasi dari masa aksi lain serta berita yang valid.

Amanat melintangi jalan atau blokir jalan raya Monta Selatan.

Undang-undang telah mengatur tentang melintangi jalan dan memblokir jalan secara gamblang dari naskah hukum. KUHP Pasal 109 ayat 1e jo KUHP Pasal 55 atau pasal 12 Jo pasal 63,  UU RI No. 38 tahun 2014 tentang jalan dan lain sebagainya.

Afrizal menyadari, langkah tersebut melanggar hukum. Tetapi, langkah itu merupakan cara yang dilakukant untuk menghendaki agar perbaikan jalan raya Monta Selatan berasal dari penderitaan selama ini. Mereka ambil jalan fight to justice melalui gerakan jalanan agar keadilan dapat terwujudkan.