PERNIKAHAN ANAK DI NTB TAK KUNJUNG TUNTAS, HAMBATAN MEWUJUDKAN SDGS 2030

0
79

Pemerintah Indonesia tengah menggenjot target Sustainable Develompent Goals (SDGS) 2030, yang ditetapkan pada September 2015 di Sidang Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Namun, Nusa Tenggara Barat menghambat tujuan SDGs tersebut karena menjadi provinsi tertinggi dalam kasus pernikahan anak, yang hendak dihempaskan.

Poin 5 dari 17 tujuan SDGs, yakni kesetaraan gender dengan poin spesifik, menghapuskan semua praktik berbahaya seperti perkawinan usia anak, perkawinan dini dan paksa, serta sunat perempuan. Tentunya praktik yang terjadi tiap provinsi mempengaruhi keberhasilan tersebut.

Apabila merujuk pada data BPS tahun 2022, NTB berada pada posisi tertinggi dalam praktik perkawinan anak dengan persentase 16,23 %. Angka tersebut dua kali lipat dari persentase secara nasional, yakni 8,06 %.

Bahkan, pada 2023 persentase tersebut naik menjadi 17,32 % dan ada peningkatan sejumlah 1,09 %. Artinya, kesadaran masyarakat akan adanya praktik pernikahan anak masih rendah.

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menjadi badan yang berfokus dalam mencegah dan menuntaskan praktik pernikahan dini. Pencegahan yang dilakukan adalah dengan menyasar kelompok yang rentan terlibat.

“Kami mendidiknya di kelompok ada yang namanya PIK-R sekolah dan luar sekolah, Pusat Informasi dan Konseling Remaja,” ungak Ketua Divisi Penanganan Remaja BKKBN saat ditemui.

Melalui program tersebut, para remaja yang tengah duduk di bangku sekolah mendapatkan informasi dan konseling untuk mencari jalan keluar atas permasalahan yang dihadapi. Penguru PIK-R akan dilatih dan dapat menyalurkan informasi ke tim dan siswa/i.

“Yang diajarkan, pertama KESPRO atau Kesehatan Reproduksi untuk memberikan informasi mengenai reproduksi,” jelasnya.

Program lain yang menjadi fokus adalah sosialisasi mengenai anemia, yang memiliki keterkaitan akan minat dan mencegah adanya pernikahan anak. Apalagi, hampir 50 % wanita di NTB mengalami anemia.

Terakhir, adanya Program Life Skill, yang berisi mengenai bagaimana cara remaja mengetahui jati diri, tujuan hidup, hingga solusi dalam menghadapi permasalahan. Program ini lebih memfokuskan terhadap soft skill.

Berdasarkan program tersebut dengan persentase pernikahan anak yang tinggi di NTB diharapkan mampu menuntaskan permasalahan pelik tersebut. Apalagi persentase itu harus terus dikendalikan dari berbagai program strategis.

“Mendidik untuk memberikan pemahaman dan kesadaran kepada masyarakat menjadi tantangan tersendiri,” pungkasnya.

Lingkungan sekitar memiliki pengaruh erat terhadap melanggengnya praktik pernikahan anak di NTB. Lingkungan memberikan pengaruh 70-80% terhadap pembentukan karakter remaja.

Apabila program tersebut tidak dilakukan secara masif, pemahaman remaja menjadi sangat rendah dan praktik pernikahan anak semakin tinggi. Alhasil, penuntasan poin 5 dalam SDGs tidak akan pernah tuntas.