Ada salah apa sih sama Allah? Begitu ungkapan Kiran ketika mesti berhadapan dengan masalah yang menggoyahkan imannya, sekaligus mempertanyakan kuasa Tuhan. Pengabdiannya kepada Yang Maha Kuasa serasa tak berarti dengan cobaan berat yang berlindung di balik “agama”. Pokok masalah tersebut menghantarkan wanita yang berasal dari keluarga kurang mampu itu menguji adanya kuasa manusia atas Tuhan.
Apa gunanya mengabdikan diri kepada Tuhan jikalau pada akhirnya Kiran harus menjalani kehidupan yang tidak adil? Bukankah semestinya perilaku umat menyimpang itulah yang semestinya mendapatkan ganjaran? Hal inilah yang menjadi pertanyaan di benak wanita yang tekun menjalankan syariat islam itu. Setiap pengabdiannya dibalas kekecewaan. Ia memutuskan untuk mengikuti permainan Tuhan Yang Maha Esa.
Kekecewaan yang berakar dari fitnah dan cemooh membawa agama yang dilakukan oleh Ustadz Abu Darda yang merupakan panutan, juga pengikutnya di Pondok Pesantren tersebut melahirkan sosok pelacur yang mengupas perilaku bejat politisi, seperti Alim. Alim menjadi politisi yang berlindung di balik kesan agamis dan religius. Dengan mengetahui tingkah laku umatnya, wanita yang tidak lagi melanjutkan ibadahnya kepada Tuhan itu semakin yakin atas perlakuan tidak adil. Bagaimana mungkin, orang-orang yang berlindung di balik agama itu memainkan peranan politiknya dengan baik. Tanpa merasakan cobaan yang begitu berat, sebagaimana mestinya yang sebanding dengan perilaku yang menyimpang dari agama.
Hanung Brahmantyo sebagai sutradara menggambarkan sosok tokoh politik yang menjual citra religius dan santun pada pesantren yang dekat dengan agama, dengan cepat mengambil hati masyarakat. Pemimpin yang beragama dan visioner dalam membangun negara ditampilkan guna memperlihatkan pandangan masyarakat mengenai calon pemimpin. Pemimpin yang beragama mendapatkan stigma positif karena dapat mempraktekkan pemahaman agama pada kegiatan sehari-hari. Sama halnya dengan kampanye berbau agama oleh Alim, Masyarakat menjadi percaya bahwa sosok politisi yang paham agama pantas menjadi pemimpin.
Selain itu, pesan dalam film menyampaikan bahwa orang yang berlindung atau berpenampilan layaknya paham agama pun, tidak dapat dinilai berperilaku bersih. Hal ini tergambar pada penyergapan Densus 88 terhadap Pondok Pesantren yang dipimpin Ustadz Abu Darda yang terbukti melakukan kegiatan radikal, yaitu pengeboman.
Namun, masyarakat yang terjerumus pada ajarannya dan keyakinan tak berdasar, seperti Ibu Kiran tak meyakini kebenaran tindakan radikal di tempat menimba ilmu tersebut. Hal itu membuktikan bahwa pikiran terbuka dengan menggunakan akal dalam beragama perlu diterapkan, apalagi akses pendidikan di desa terpencil sangat minim. Pemahaman akan Pendidikan dan pandangan terhadap agama yang semestinya diterapkan, sebagaimana ungkapan Daarul, menjadi perhatian penting.
Apabila melihat realitas kehidupan masyarakat, isu radikalisme dan terorisme menjadi isu yang penting. Tak hanya itu, isu tersebut kerap disandingkan dengan kelompok agama tertentu. Walaupun, desas-desus itu tak berdasar. Melalui film kontroversial ini, stereotypes adanya agama yang melatarbelakangi kegiatan radikalisme justru semakin melanggengkan perilaku menyimpang identik dengan agama melalui Pondok Pesantren.
Film Tuhan Izinkan Aku Berdosa yang disutradarai oleh Hanung Brahmantyo dengan durasi 1 jam 54 menit ini membuka rentetan kisah Kiran yang meninggalkan pengabdian penuh kepada Tuhan, menghantarkannya pada gejolak kehidupan yang justru tak ia inginkan pula. Kekecewaannya wanita yang dihadapkan dengan cobaan berulang-ulang kali tersebut akhirnya menyadarkannya bahwa ia harus mencintai Tuhan dengan bahagia. Selain itu, dapat membuka pikiran umat manusia untuk mengabdi dan berserah diri tanpa adanya iming-iming apapun.