Kuta – Suasana terik siang hari di pantai Kuta Lombok tak menyurutkan semangat para penduduk local yang menggantungkan nasib perutnya pada salah satu destinasi wisata andalan di Pulau Lombok ini. Sebuah pemandangan yang sebenarnya menyampaikan pesan bahwa semangat tak pernah mengenal cuaca dan kondisi. Tampak bagaimana semangat para pedagang aksesoris, pedagang makanan, tukang parkir, dan tentu saja para bocah yang menawarkan gelangnya masih tetap bertahan di tengah sepinya pengunjung akibat pandemi Covid-19 yang sudah melanda negeri ini sejak lebih dari setahun terakhir ini. Kehadiran bocah-bocah yang menawarkan aksesoris berupa gelang yang terbuat dari benang yang dipintal ini menjadi salah satu pemandangan yang cukup menarik dan unik sebab hal ini hanya dapat kita jumpai di pantai-pantai yang terdapat di ujung selatan Pulau Lombok seperti di Pantai Kuta ini. Mereka akan menghampiri setiap pengunjung yang hadir kemudian menawarkan gelang yang mereka jual seharga Rp. 2.500,-.

Salah satu bocah penjual gelang tersebut bernama Andre dan baru berumur sebelas tahun. Bocah yang bersekolah di SDN 1 Rembitan ini menghabiskan waktunya dengan menawarkan gelang setiap hari dari pagi hingga malam hari. Andre tinggal di Desa Sade bersama ibu, adik, dan neneknya. Kedua orang tuanya sudah lama berpisah dan ayahnya kini berada di Pulau Sumbawa. Di usianya yang masih sangat kecil Andre sudah menjadi tulang punggung keluarganya sebab ibunya harus mengurus adik dan neneknya yang sudah sakit-sakitan. Tak ada keluhan yang keluar dari lisan bocah tersebut, hanya ada tawa riang layaknya para anak seusianya yang menghabiskan waktu dengan bermain.

Sebenarnya Andre bukan satu-satunya anak yang harus menghabiskan masa kecilnya dengan menjadi tulang punggung keluarga dengan berjualan gelang di sekitaran Pantai Kuta. Bisa dikatakan bahwa semua penjual gelang di Pantai Kuta Lombok adalah para anak kecil.  Berdasarkan data yang terdapat pada Badan Pusat Statistik diketahui bahwa persentase jumlah kemiskinan di Nusa Tenggara Barat pada tahun 2020 yaitu sebesar 13,97 persen, memang lebih rendah dari tahun 2019 yaitu sebesar 14,56 persen. Sedangkan persentase kemiskinan khususnya di daerah Lombok Tengah pada tahun 2020 yaitu sebesar 13,44 persen.

Selain itu, berdasarkan data Dinas Dikbud dalam NTB Satu Data, angka putus sekolah jenjang SD, SMP, SMA/SMK pada tahun ajaran 2019/2020 memang masih cukup besar. Untuk jenjang SD, jumlah siswa yang putus sekolah sebanyak 344 orang atau 0,07 persen. Dengan rincian, Lombok Barat 67 orang, Lombok Tengah 24 orang, Lombok Timur 97 orang, Sumbawa 44 orang, Dompu 25 orang, Bima 65 orang, Sumbawa Barat 1 orang, Lombok Utara 10 orang, Kota Mataram 1 orang dan Kota Bima 10 orang. Jenjang pendidikan berikutnya yang banyak siswa putus sekolah adalah SMK, sebanyak 249 orang atau 0,34 persen. Dengan rincian, Lombok Barat 35 orang, Lombok Tengah 21 orang, Lombok Timur 30 orang, Sumbawa 44 orang, Dompu 33 orang, Bima 18 orang, Sumbawa Barat 13 orang, Lombok Utara 12 orang, Kota Mataram 15 orang dan Kota Bima 28 orang. Sedangkan untuk jenjang pendidikan SMP, jumlah siswa yang putus sekolah di NTB sebanyak 43 orang. Tersebar di Lombok Tengah 1 orang, Lombok Timur 9 orang, Sumbawa 1 orang, Dompu 12 orang, Bima 19 orang dan Sumbawa Barat 1 orang. Sementara, angka putus sekolah untuk jenjang SMA sebanyak 47 orang. Dengan rincian, Lombok Barat 4 orang, Lombok Tengah 13 orang, Lombok Timur 8 orang, Sumbawa 6 orang dan Bima 16 orang.

Kabupaten Lombok Tengah memang tidak menjadi daerah dengan angka kemiskinan dan angka putus sekolah tertinggi di Provinsi NTB, namun tetap saja hal ini masih menjadi PR untuk pemerintah setempat agar dapat menekan angka kemiskinan dan angka putus sekolah tersebut ke titik terendah. Pemerintah setempat harusnya mampu untuk memperbaiki masalah ini terutama masalah yang berkaitan dengan kesejahteraan anak. Melihat bagaimana anak seusia Andre harus menangung beban menjadi tulang punggung keluarga sudah menunjukkan bahwa pemerintah masih gagal dalam menjamin kesejahteraan hidup seorang anak. Seperti yang telah diatur dalam Undang-Undang No.23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak pasal 55 ayat 1 yang berbunyi “Pemerintah wajib menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan anak terlantar, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga”. Pemerintah daerah dalam hal ini pemerintah Kota Mataram harusnya mampu untuk mendata secara lebih spesifik terkait dengan jumlah anak jalanan maupun anak terlantar yang berada di Kota Mataram kemudian diberikan pembinaan maupun pemeliharaan.

Anak adalah aset bangsa, mereka adalah calon-calon penerus pemimpin bangsa. Bagaimana keadaan bangsa ini di masa depan tergantung dengan bagaimana kehidupan, pendidikan, dan pergaulan yang diperoleh oleh anak-anak saat ini. Anak-anak yang saat ini tak punya kesempatan untuk merasakan manisnya bangku pendidikan adalah perwujudan dari kegagalan fatal suatu pemerintahan.