Mataram (17/06) – Sebuah usulan mengundang kontroversi di Lombok ketika muncul wacana agar pasangan pengantin anak dijadikan duta kampanye anti pernikahan usia dini. Respons keras pun datang dari Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Mataram, yang menilai ide tersebut bertentangan dengan prinsip perlindungan anak dan justru berpotensi memperkuat praktik yang sedang diperangi.

Wilayah Nusa Tenggara Barat masih menghadapi darurat pernikahan usia anak. Berdasarkan laporan tahun 2023 dari Kementerian PPPA, NTB termasuk dalam tiga provinsi dengan angka perkawinan anak tertinggi di Indonesia. Kabupaten Lombok Tengah dan Lombok Timur menjadi wilayah dengan angka tertinggi.

Upaya berbagai pihak, termasuk LPA, selama ini terfokus pada edukasi, penyadaran masyarakat, serta advokasi kebijakan untuk mencegah praktik tersebut. Namun wacana menjadikan pasangan pengantin anak sebagai duta anti kawin dini dinilai bertolak belakang dengan semangat tersebut.

Fauzan Rizal, Ketua LPA Kota Mataram, mengungkapkan bahwa pihaknya menolak secara tegas usulan tersebut karena dinilai bisa menimbulkan tafsir keliru di tengah masyarakat.

“Ketika anak yang menjadi korban justru diangkat menjadi duta kampanye, itu bisa menimbulkan kesan bahwa praktik itu sah-sah saja dilakukan,” ucapnya saat ditemui tim peliput.

Fauzan mengibaratkan, menjadikan pengantin anak sebagai duta itu seperti mengangkat korban banjir menjadi ikon kampanye tata kelola air, sebelum mereka diselamatkan terlebih dahulu.

Aktivis pendamping anak dan perempuan, Nur Aini, juga mengkritik keras gagasan ini. Ia menyebut bahwa pengangkatan simbolik yang salah bisa membuyarkan pesan-pesan pencegahan yang selama ini diperjuangkan.

“Kita sedang berupaya menolak dispensasi nikah dan memperjuangkan pendidikan anak perempuan, tiba-tiba muncul simbol yang justru berasal dari praktik yang kami lawan,” jelasnya.

Dinas P3AP2KB NTB mencatat bahwa ribuan permohonan dispensasi nikah dikabulkan pada 2023. Sebagian besar berasal dari keluarga dengan keterbatasan ekonomi dan pendidikan rendah. Anak perempuan menjadi pihak yang paling dirugikan: putus sekolah, hamil di usia belia, hingga terjebak dalam siklus kekerasan rumah tangga.

Di sejumlah daerah di Lombok, norma sosial dan tekanan budaya masih menjadi pendorong utama pernikahan usia muda. Pandangan bahwa menikahkan anak menyelamatkan nama baik keluarga masih kuat mengakar. Hal inilah yang menurut LPA harus dilawan dengan simbol-simbol kampanye yang progresif dan berpihak sepenuhnya pada hak anak.

Dr. Risa Ambarwati, sosiolog dari Universitas Mataram, menyebut bahwa pemilihan figur dalam kampanye sosial sangat menentukan pesan yang ingin disampaikan.

“Jika simbol kampanye justru berasal dari praktik pelanggaran hak, maka kampanye itu berisiko justru mengaburkan nilai-nilai kritisnya,” katanya.

Menurutnya, kampanye anti pernikahan anak harus menghadirkan sosok inspiratif dari kalangan anak muda yang berhasil terhindar dari praktik tersebut dan aktif menyuarakan edukasi.

Menanggapi situasi ini, LPA Kota Mataram telah mengambil beberapa langkah tegas:

  • Mengirim surat penolakan resmi ke pemerintah daerah dan dinas terkait.
  • Merancang kampanye baru bersama komunitas anak muda dan sekolah.
  • Melibatkan tokoh agama dan tokoh adat untuk merevisi narasi-narasi lama yang membenarkan perkawinan anak.

Menjadikan pengantin anak sebagai simbol penolakan terhadap pernikahan dini justru berisiko menciptakan ambiguitas. Di tengah upaya keras menurunkan angka perkawinan anak, langkah semacam ini bisa menjadi blunder besar. LPA Kota Mataram mengingatkan bahwa kampanye perlindungan anak harus berpijak pada prinsip pemulihan, pencegahan, dan pemberdayaan—bukan pencitraan.