Lombok Barat – Perceraian bukan akhir dari segalanya, terlebih bagi perempuan. Di balik perpisahan rumah tangga, perempuan memiliki sejumlah hak yang dijamin oleh hukum di Indonesia maupun ajaran Islam. Namun sayangnya, tak sedikit perempuan yang masih belum memahami hak-haknya setelah perceraian. Akibatnya, banyak yang dirugikan secara ekonomi, emosional, bahkan status sosialnya.

Dalam kasus perceraian, perempuan kerap kali hanya mengajukan gugatan tanpa menyertakan tuntutan hak-haknya. Padahal, menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 3 Tahun 2017, perempuan memiliki hak atas nafkah iddah, nafkah masa lalu (madliyah), nafkah penghibur (mut’ah), pemeliharaan anak (hadhanah), hingga pelunasan mahar yang belum dibayar suami.

Dalam praktiknya, banyak perempuan tidak menyadari bahwa semua hak itu bisa dituntut secara sah. Penelitian yang dilakukan Hamzah, Oyo Sunaryo Mukhlas, dan Usep Saepullah dari UIN Sunan Gunung Djati Bandung menemukan bahwa sebagian besar perempuan tidak mengajukan tuntutan haknya karena ketidaktahuan atau rasa takut terhadap proses hukum.

“Banyak perempuan tidak tahu bahwa mereka masih berhak menerima nafkah dari mantan suami selama masa iddah, biaya pemeliharaan anak, hingga pelunasan mahar yang belum dibayar. Ini perlu disosialisasikan dengan serius,” ujar Hamzah, salah satu peneliti.

Dalam hukum Islam dan positif di Indonesia, masa iddah adalah waktu tunggu bagi istri setelah cerai sebelum ia boleh menikah lagi. Selama masa ini, suami wajib memberikan nafkah lahir kepada bekas istrinya, kecuali jika ia nusyuz atau tidak taat.

Selain itu, suami juga diwajibkan memberikan nafkah mut’ah, yaitu nafkah penghibur bagi istri yang dicerai, sebagai bentuk penghormatan terakhir. Nilainya bergantung pada kemampuan mantan suami, namun wajib diberikan terutama jika perceraian terjadi atas kehendak suami.

Tak kalah penting adalah nafkah madhiyah, yaitu nafkah masa lalu yang belum sempat ditunaikan suami selama perkawinan berlangsung. Jika dalam masa pernikahan suami tidak memberikan nafkah selama berbulan-bulan, istri bisa menggugatnya sebagai bentuk hutang. Hukum juga mengizinkan hakim menyita dan melelang harta suami untuk melunasi kewajiban tersebut.

Perempuan yang memiliki anak juga berhak atas hadhanah, yaitu hak asuh anak, terutama untuk anak-anak yang belum dewasa. Dalam hal ini, ibu dianggap lebih mampu dalam memberikan kasih sayang dan pengasuhan, khususnya saat anak masih kecil. Namun, jika ibu menikah lagi, maka hak asuh bisa beralih, tergantung keputusan hakim dan situasi anak.

Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 156, ayah tetap wajib menanggung biaya hidup anak hingga anak berusia dewasa, sekalipun hak asuh diberikan kepada ibu. Hal ini berlaku mutlak karena anak adalah tanggung jawab kedua orang tua.

Dalam beberapa kasus, bahkan hutang mahar yang belum dilunasi juga harus dibayar oleh suami pasca cerai. Mahar adalah hak mutlak istri. Jika saat menikah suami belum membayar penuh, atau meminjamnya kembali dari istri, maka setelah bercerai hutang tersebut tetap harus dilunasi.

Kabar baiknya, hukum di Indonesia juga memberikan perlindungan psikologis kepada perempuan dalam proses persidangan perceraian. Berdasarkan Perma No. 3 Tahun 2017, hakim wajib mempertimbangkan kesetaraan gender dan kondisi mental perempuan. Jika perempuan tidak dapat hadir karena alasan trauma atau ketakutan, ia bisa memberikan keterangan melalui video jarak jauh.

Langkah-langkah hukum juga bisa ditempuh apabila mantan suami menolak memenuhi kewajibannya. Perempuan dapat mengajukan permohonan eksekusi ke pengadilan. Bagi perempuan yang kurang mampu, proses hukum ini bisa dilakukan secara cuma-cuma alias prodeo, sesuai dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 jo UU No. 3 Tahun 2006.

“Kesadaran hukum perempuan harus ditingkatkan. Hak-haknya tidak hanya dijamin dalam teks undang-undang, tetapi juga dalam nilai-nilai keadilan Islam,” tegas Usep Saepullah