MATARAM – Minggu malam di Éclair Coffee, Kota Mataram, terasa berbeda pada 8 Juni 2025. Forum Ketjil, diskusi seni yang digagas Komunitas Akar Pohon bersama Rawdraw Collective dan Media Pasir Putih, menghadirkan seniman multimedia Soemantri Gelar. Mengusung tajuk “Seni Ini Seni Apa?”, forum ini mengajak audiens menelusuri praktik kreatif Gelar yang memaknai seni sebagai luapan ekspresi bebas, bukan sekadar definisi yang kaku.

Dokumentasi audiens Forum Ketjil bersama Gelar.

Soemantri Gelar kini tinggal dan berkarya di Jakarta. Ia menyelesaikan pendidikan Jurnalistik di IISIP Jakarta dan memulai karier di bidang komunikasi visual. Perlahan, ia menjelajah video art, seni rupa, hingga media eksperimental. Karya debutnya, Ketika Aku Pulang Tidak Ada Mamah di Depan Pintu (2006), pernah tayang di Festival Film Rotterdam 2008—pencapaian yang mengukuhkan posisinya di lingkar seni kontemporer Indonesia.

Ia menjadikan “corat-coret” sebagai metafora utama dalam proses kreatifnya. Kebiasaan masa kecil itu tumbuh menjadi “kebun ide”, tempat ia memungut gagasan, menyusunnya kembali, lalu melahirkan bentuk baru. “Video art itu kayak kolase,” kata Gelar. “Kita masuk ke kebun, ambil yang kita perlu, lalu racik jadi sesuatu yang baru.”

Soemantri Gelar (kiri) berbincang dalam Forum Ketjil bersama Tara Febriani Khaerunnisa (kanan) sebagai pemandu.

Malam itu, Gelar menayangkan Dialex Dini Hari (2023), video musik hasil kolaborasi dengan musisi Jason Ranti. Terinspirasi dari debat Capres-Cawapres yang menampilkan juru bahasa isyarat di sudut layar, Gelar justru membalik proporsinya: ia menonjolkan bahasa isyarat dan mengecilkan elemen utama. “Ketika tubuh bergerak, suara itu ada,” ujarnya, menegaskan dukungannya terhadap ekspresi kaum disabilitas.

Audiens Forum Ketjil tampak serius menyimak diskusi.

Karya-karya Gelar sering tampil di berbagai festival seni seperti OK Video Festival, Jatim Biennale, dan Manifesto 4.0. Namun, Gelar tidak terlalu memusingkan penilaian. “Mau dikatakan ini, mau itu, atau tidak dikatakan, sah-sah saja,” ungkapnya. Ia memandang seni bukan sebagai soal pengakuan, melainkan kesadaran—terhadap diri, terhadap ekspresi, dan terhadap kebebasan yang mesti terus hidup, sebagaimana jiwa kanak-kanak yang berani mencoret dunia dengan warna.