Lombok, NTB – Pernikahan dini masih menjadi realitas pahit bagi banyak anak perempuan di Nusa Tenggara Barat. Meski Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 telah menetapkan batas usia minimal menikah menjadi 19 tahun, praktik menikahkan anak di bawa umur masih kerap terjadi. Penyebabnya tak tunggal: mulai dari budaya, tekanan sosial, kemiskinan, hingga minimnya pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi.

Data didapatkan dari website resmi Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Barat

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) NTB dan Komnas Perempuan, NTB termasuk provinsi dengan angka pernikahan dini yang cukup tinggi secara nasional. Dalam beberapa wilayah seperti Lombok Tengah dan Lombok Timur, pernikahan anak bahkan dianggap jalan keluar dari bebabn ekonomi keluarga.

Dampak pernikahan dini sangat besar dan bersifat multidimensi. Anak-anak perempuan yang menikah di usia rentan putus sekolah, mengalami komplikasi kesehatan saat kehamilan, dan menghadapu risiko kematian ibu muda. Selain itu, pernikahan dini juga memperbesar potensi perceraian di usia muda dan rendahnya partisipasi ekonomi perempuan.

Upaya pencegahan terus dilakukan. Pemerintah daerah dan lembaga swadaya masyarakat setempat menggencarkan edukasi publik melalui kampanye media sosial, penyuluhan ke sekolah-sekolah, serta pendampingan di daerah dengan angka kasus tinggi.

Namun, perubahan tidak bisa instan. Perlu pendekatan berbasis adat, budaya, dan keluarga agar pemahaman tentang pernikahan anak bisa bergeser ke arah yang lebih progresif.