
Pemepek, Lombok Tengah – Desa Pemepek di Kecamatan Pringgarata menyimpan magnet wisata alami yang belum tergarap maksimal. Desa ini kaya akan sumber daya alam (SDA) yang berpotensi memanjakan mata pengunjung. Mulai dari camping ground di Lembah Datu, aliran sungai dan perbukitan di kawasan Pindah Alam, hutan hijau di KHDTK Rarung, hingga kebun buah musiman yang bisa dikembangkan menjadi agrowisata. Sayangnya, potensi besar ini belum mampu dikemas menjadi destinasi yang dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat. Salah satu penyebab utamanya adalah aktivitas tambang galian C yang menyebabkan kerusakan jalan, sehingga menyulitkan akses pengunjung menuju lokasi-lokasi wisata.



KHDTK Rarung
Peluang yang Tak Tergarap
Menurut pengakuan salah satu pengelola wisata, sebenarnya ada beberapa titik camping ground di Desa Pemepek. “Sebenarnya ada beberapa tempat camping di sini, tapi ya itu, hanya Lembah Datu yang dikenal orang-orang. Itu pun karena akses jalannya lebih baik. Tempat lain belum banyak diketahui karena jalanannya rusak, pengunjung juga jadi enggan datang,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa pengelola wisata bersama pemuda desa sebenarnya telah berupaya mengelola titik-titik wisata secara mandiri. Namun, mereka menghadapi keterbatasan tenaga dan dana. “Sudah berkali-kali dibenahi, tapi jalanan kembali rusak karena dilalui truk-truk pengangkut hasil tambang,” tambahnya.
Masalah Jalan dan Tambang Galian C
Kondisi infrastruktur jalan menuju tempat wisata menjadi persoalan utama di Desa Pemepek. Jalan utama menuju titik-titik wisata dipenuhi lubang dan gundukan tanah, dampak dari lalu lalang truk pengangkut material tambang galian C yang beroperasi di wilayah tersebut. Tak jarang, wisatawan membatalkan kunjungan karena akses jalan yang tidak bersahabat.
Menurut Ratna (35), seorang ibu rumah tangga yang memiliki warung kecil di pinggir jalan, keberadaan truk tambang sangat mengganggu kenyamanan lingkungan. “Kalau truk-truk itu lewat, suaranya bising dan banyak debu. Nggak nyaman buat siapa pun, apalagi turis,” katanya.
Sementara itu, bagi Nadiya, seorang mahasiswa dari Mataram yang berkunjung untuk keperluan riset, pengalaman pertamanya cukup mengagetkan. “Waktu baru sampai, saya lumayan kaget karena banyak truk besar lalu-lalang. Saya jadi panik juga, soalnya saya nggak terlalu mahir naik motor. Takut kalau tiba-tiba papasan dengan truk di jalan sempit,” ungkapnya.
Menurut Nadiya, Desa Pemepek sebenarnya bisa menjadi destinasi unggulan seperti desa wisata lainnya di Lombok Tengah. Namun, potensi tersebut terhambat oleh dominasi aktivitas tambang. “Rugi sekali kalau dibiarkan. Wisata bisa jadi peluang ekonomi jangka panjang, tapi sekarang potensinya seperti tertutupi oleh aktivitas tambang,” ujarnya dengan nada prihatin.
Data dari Dinas Lingkungan Hidup Lombok Tengah menyebutkan bahwa aktivitas tambang galian C di Desa Pemepek memang legal. Namun, pengawasan terhadap dampak lingkungannya masih minim. Ironisnya, tambang yang seharusnya memberi kontribusi terhadap pembangunan infrastruktur, justru memperparah kondisi jalan desa.

Persimpangan: Tambang atau Wisata
Desa Pemepek kini berada di persimpangan antara kepentingan ekonomi jangka pendek dan visi pembangunan berkelanjutan. Keberadaan tambang menjadi tumpuan hidup bagi sebagian besar warga. Bagi banyak keluarga, tambang bukan sekadar sumber penghasilan, tetapi juga peluang untuk bertahan hidup di tengah keterbatasan lapangan kerja di pedesaan. Aktivitas ini mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari, bahkan meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Namun di balik manfaat ekonominya, aktivitas tambang meninggalkan dampak serius. Lanskap alam yang dulunya hijau mulai terkikis, debu beterbangan, air mulai tercemar, dan suasana desa yang dulunya tenang kini bising oleh deru mesin. Padahal, potensi wisata alam Desa Pemepek sangat besar, dari kebun buah yang luas, mata air alami, hingga suasana khas pedesaan yang masih asri. Jika dikelola secara serius dan berkelanjutan, potensi ini bisa menjadi sumber ekonomi baru yang melibatkan lebih banyak masyarakat.
Kini, Pemepek menghadapi dilema: terus bergantung pada tambang yang merusak lingkungan atau mulai berinvestasi pada pengembangan desa wisata yang ramah lingkungan. Sayangnya, hingga kini dukungan dari pemerintah desa maupun lembaga terkait masih minim. Selama keputusan belum diambil, ancaman hilangnya potensi wisata yang tak tergantikan semakin nyata.
Pemerintah Desa yang Serba Salah
Kepala Desa Pemepek, Marlan, tidak menampik bahwa keberadaan tambang telah menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Ia mengaku telah berkali-kali menerima aksi protes dari warga. “Sudah sering warga datang ke kantor desa, kadang sampai demo. Mereka protes soal debu, air yang keruh, sampai jalan desa yang rusak karena truk tambang,” ujarnya.
Namun, Marlan menjelaskan bahwa pemerintah desa memiliki keterbatasan dalam menindaklanjuti hal tersebut. “Tambang yang beroperasi di sini semuanya legal, punya izin dari pemerintah kabupaten atau provinsi. Jadi kami di desa tidak bisa serta-merta melarang,” jelasnya. Ia juga mengakui bahwa tambang bukan hanya soal kerusakan lingkungan, tapi juga soal penghidupan. “Sebagian besar yang kerja di tambang itu ya warga kita sendiri. Kalau langsung dihentikan, nanti mereka makan apa? Itu yang bikin kami serba salah. Apalagi lima perusahaan tambang itu cukup bisa memperbaiki perekonomian banyak masyarakat disini” katanya lirih.
Masyarakat pun tampak terbelah: ada yang menuntut tambang dihentikan karena dianggap merusak ekosistem alami desa, di lain sisi ada pula yang ingin mempertahankannya karena menjadi sumber nafkah satu-satunya. Dalam situasi serba rumit ini, Desa Pemepek masih mencari jalan tengah: bagaimana menjaga alam sekaligus mempertahankan ekonomi warganya.
Penulis dan Editor: Niza Ervia S.