
Mataram– Gen Z disebut juga sebagai generasi yang paling paham teknologi, usia Gen-Z antara 13-28 tahun. Mereka lahir pada tahun 1997-2012 dan tumbuh dengan internet, media sosial, dan kemudahan akses informasi. Banyak yang mengatakan generasi ini adalah generasi kreatif, cepat belajar, dan memiliki cara pandang yang terbuka. Tapi, meskipun disebut-sebut sebagai generasi paling siap menghadapi masa depan, kenyataannya tidak sedikit dari mereka justru sulit mendapatkan pekerjaan. Bahkan, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dari Oktober 2019-Oktober 2024, tercatat 10 juta pengangguran di Indonesia berasal dari kelompok Gen-Z. Angka ini menjadikan Gen Z sebagai kelompok usia dengan tingkat pengangguran tertinggi. Yang lebih mengkhawatirkan, sebagian besar dari mereka sebenarnya adalah lulusan SMA, SMK, bahkan perguruan tinggi. Lalu, apa yang membuat mereka tetap sulit mendapat pekerjaan?
Salah satu penyebab utama tingginya angka pengangguran di kalangan Gen-Z adalah kurangnya lapangan pekerjaan yang tersedia. Banyak dari mereka mengungkapkan bahwa posisi lowongan pekerjaan yang tersedia di lapangan tidak sesuai dengan jurusan yang mereka ambil selama kuliah, ataupun dengan keterampilan yang mereka miliki. Akibatnya, mereka kesulitan bersaing di dunia kerja yang selektif.
Alih-alih merasa termotivasi, sebagian besar Gen-Z merasa terjebak dalam situasi yang membingungkan. Di sisi lain, mereka memiliki semangat dan keinginan dalam bekerja sesuai minat dan latar belakang pendidikan mereka. Namun realitanya, dunia kerja justru mendorong mereka melamar pada posisi yang tidak sesuai dengan minat mereka. Umumnya, lapangan pekerjaan yang tersedia hanya membuka lowongan untuk jurusan-jurusan tertentu, atau memberikan persyaratan kerja selama dua tahun Padahal rata-rata dari mereka merupakan fresh graduate, sehingga belum memiliki pengalaman kerja yang memumpuni.
”Saya pernah melamar di salah satu klinik kecantikan untuk bagian terapis, tapi HRD-nya bilang kalau pengalaman saya harus minimal 1 tahun, sedangkan saya baru lulus SMK. Udah pasti saya belum punya pengalaman sejauh itu,” ucap Nindy, selaku narasumber yang kami wawancarai, Minggu (15/06/2025).
Tidak sampai disana, masalah lain datang dari dunia kerja itu sendiri. Banyak perusahaan membuka lowongan untuk fresh graduate, tapi harus memiliki pengalaman minimal 1–2 tahun dan menuntut kemampuan serba bisa, seperti skill komunikasi, mahir menggunakan komputer dan software dasar (Ms.Office, Google Workspace), dan siap belajar hal-hal baru. Padahal, Gen Z ini masih baru lulus dan sedang butuh tempat untuk belajar.
”Pelamar pekerjaan saat ini masih di dominasi oleh kalangan Gen-Z yang masih fresh graduate, tapi rata-rata perusahaan membutuhkan pelamar dengan pengalaman minimal 1-2 tahun. Kami mengakui memang kalangan Gen-Z ini memiliki ide-ide yang fresh, namun perusahaan juga membutuhkan pelamar yang sudah siap kerja dan berpengalaman,” ujar Wira, salah satu HRD dari sektor keuangan di Mataram.
Selain soal skill dan pengalaman, jumlah lapangan kerja yang tersedia juga jadi tantangan besar. Data dari BPS menunjukkan bahwa selama lima tahun terakhir, lapangan pekerjaan di Indonesia mengalami penurunan dari 8,5 juta orang pada periode 2014-2019 menjadi 2 juta orang pada periode 2019-2024. Hal ini disebabkan karena perusahaan yang berkembang lebih mengandalkan teknologi, sehingga rata-rata perusahaan tidak banyak menyerap Sumber Daya Manusia (SDM).
Di sisi lain, beberapa Gen-Z juga punya ekspektasi yang tinggi terhadap pekerjaan. Banyak dari mereka berharap bisa langsung dapat gaji besar, kerja fleksibel, memiliki lingkungan kerja yang santai, bahkan Work From Home (WFH). Namun realitanya, tidak semua perusahaan mampu menyediakan kondisi kerja seideal itu. Akhirnya, mereka lebih memilih menunggu pekerjaan yang “sesuai”, tanpa tahu kapan peluang itu akan datang.
Masalah pengangguran Gen-Z bukanlah sesuatu yang bisa diselesaikan oleh satu pihak saja. Pemerintah perlu memperbaiki sistem pendidikan agar lebih praktis dan sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Perusahaan juga harus membuka lebih banyak peluang untuk lulusan baru dan tidak hanya fokus pada pengalaman. Sementara itu, Gen-Z juga perlu membekali diri dengan keterampilan tambahan yang bisa dipelajari secara mandiri, misalnya lewat kursus online, proyek mandiri, atau kegiatan sosial. Mereka harus berani memulai dari bawah dan terus berinovasi, agar dapat memanfaatkan peluang yang ada.
Jadi, tingginya angka pengangguran Gen-Z bukan karena mereka tidak punya potensi dan keinginan untuk bekerja. Namun sebaliknya, mereka memiliki kemampuan yang memumpuni dan memiliki keinginan untuk bekerja, tapi sistem yang ada belum cukup mendukung. Dunia kerja terlalu selektif, dan kesempatan belum terbuka luas. Jika kita ingin anak-anak muda sekarang menjadi generasi emas di masa depan, maka semua orang harus ikut andil. Jangan sampai kemampuan besar yang mereka miliki jadi sia-sia hanya karena tidak diberi kesempatan untuk berkembang.