
MATARAM (10/12/2024) – Di era digital yang semakin pesat, kecerdasan buatan (AI) telah merambah berbagai aspek kehidupan termasuk dunia pendidikan. Hasil penelitian terakhir dari Universitas Pelita Harapan (13/04/2024) menunjukkan bahwa kesadaran akan ChatGPT di kalangan akademisi Indonesia mencapai 91,25%. Mahasiswa yang pernah mendengar mengenai ChatGPT adalah sebesar sebesar 89% dan terdapat 57.5% yang pernah menggunakannya. Untuk kalangan dosen, persentase yang pernah mendengar mengenai ChatGPT mencapai 97.9% sedangkan untuk penggunaannya adalah 84% dari keseluruhan dosen yang mengikuti survei.
Sebab itu sebagai salah satu model bahasa AI yang paling canggih, ChatGPT kini menjadi perbincangan hangat di kalangan akademisi dan tidak terkecuali di Universitas Mataram. Sebagai universitas ternama di Nusa Tenggara Barat, Universitas Mataram pun tidak luput dari perdebatan mengenai penggunaan ChatGPT dalam proses pembelajaran. Lantas apakah ChatGPT menjadi ancaman bagi kualitas pendidikan atau justru membuka peluang baru bagi mahasiswa?
“Saya sih tidak setuju kalau ChatGPT dinormalisasi karena orang jadi malas belajar,” ujar Alifia, salah satu mahasiswa semester 5 jurusan Ilmu Komunikasi, ketika ditanya mengenai normalisasi ChatGPT di Universitas Mataram. Alifia menganggap bahwa penggunaan ChatGPT bergantung pada kesiapan sumber daya manusia dalam menerima teknologi baru tersebut. “Orang Indonesia belum cocok pakai ChatGPT karena level literasinya masih rendah. Ujungnya dipakai untuk menyontek,” lanjut Alifia.
Di sisi lain, Alya, mahasiswa semester 5 jurusan Agroekoteknologi, justru memiliki pendapat yang berbeda dengan Alifia. “Yesss… Menurut saya normalisasi itu perlu. Karena gunanya teknologi kan untuk dipakai,” kata Alya. Ia meneruskan bahwa ChatGPT sudah banyak membantunya dalam proses pembelajaran di universitas. Ketika ada jurnal ilmiah yang sulit untuk dipahami, Alya selalu mengandalkan ChatGPT untuk memudahkan pemahaman. “Kalau gak ada ChatGPT pasti susah banget ngerjain tugas kuliah,” lanjut Alya.
Sementara itu dari kalangan dosen, Pak Ahmad Junaidi sebagai dosen Fakultas Ilmu Pendidikan memberikan pendapat tersendiri. Ia menekankan pentingnya penerapan literasi digital bagi mahasiswa. “Di satu sisi, ChatGPT itu berguna untuk mereka yang mau belajar. Disisi lain, dianggap berguna juga bagi mereka yang tidak mau belajar. Semuanya tentang perspektif,” terang Pak Junaidi. “ChatGPT is a tool. Sekarang tergantung bagaimana universitas bisa menanamkan mindset ke mahasiswa kalau, ‘oh okay ChatGPT itu hanya sekedar alat yang mempermudah hidup kamu’, sementara mereka juga tetap mengembangkan kemampuan pribadi dengan banyak membaca dan sebagainya.”
Keragaman pendapat ini menunjukkan bahwa ChatGPT memiliki posisi yang cukup menggantung di Universitas Mataram. Di satu sisi, teknologi ini menawarkan potensi besar untuk meningkatkan efisiensi pembelajaran dan akses informasi. Namun di sisi lain, muncul kekhawatiran mengenai dampak negatifnya terhadap kualitas pendidikan dan integritas akademik. Meski begitu dapat dikatakan bahwa penanaman literasi merupakan sesuatu yang krusial di tengah tingginya penggunaan ChatGPT di universitas, untuk memastikan penggunaan yang bijak dan terarah. Pada akhirnya adanya pro dan kontra dalam memandang ChatGPT menunjukkan pentingnya diskursus yang lebih mendalam.