sumber gambar: rubik depok.com

Lombok Tengah, NTB – Di tengah pesona pariwisata yang kian menggeliat, Kabupaten Lombok Tengah menyimpan persoalan sosial yang tak kalah mendesak: tingginya angka pernikahan usia anak. Fenomena ini, yang dalam konteks lokal sering disebut “merariq kodeq,” disinyalir berkaitan erat dengan faktor ekonomi, khususnya kemiskinan dan tantangan dalam pengentasan pengangguran. Kondisi sulit mencari penghidupan bahkan mendorong banyak warga, termasuk kaum muda, untuk mencari nafkah hingga ke luar negeri sebagai Pekerja Migran Indonesia (PMI).

Berdasarkan data dari publikasi resmi Badan Pusat Statistik (BPS) dan Dukcapil Kabupaten Lombok Tengah untuk proyeksi tahun 2024, populasi Kabupaten Lombok Tengah diperkirakan mencapai 1,11 juta jiwa. Dari total tersebut, sekitar 63,97% (sekitar 707,89 ribu jiwa) masuk dalam kategori usia produktif (15-59 tahun). Sementara itu, sisanya adalah usia non-produktif, dengan sekitar 26,03% (sekitar 288 ribu jiwa) merupakan usia muda (0-14 tahun) dan sekitar 10,01% (sekitar 110,72 ribu jiwa) adalah usia lanjut (>60 tahun). Ini menunjukkan bahwa mayoritas penduduk Lombok Tengah berada di usia yang siap berkontribusi pada produktivitas daerah.

sumber: Katadata.com

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) menunjukkan bahwa pada tahun 2023, kasus pernikahan usia anak di NTB mengalami peningkatan signifikan, mencapai 17,32 persen. Angka ini jauh di atas rata-rata nasional yang hanya 6,92 persen. Pulau Lombok, termasuk di dalamnya Lombok Tengah, tercatat memiliki usia rata-rata perkawinan pertama perempuan yang paling rendah, yaitu pada usia 19 tahun. Ini mengindikasikan bahwa pernikahan dini masih menjadi isu krusial di wilayah ini.

Lebih lanjut, perubahan Undang-Undang Perkawinan pada tahun 2019 yang menaikkan batas usia minimal menikah bagi perempuan menjadi 19 tahun, justru diikuti dengan lonjakan permohonan dispensasi kawin. Di Pengadilan Agama Praya, yang melayani wilayah Lombok Tengah, peningkatan permohonan dispensasi ini sangat menonjol. Pada tahun 2023, total 723 anak di NTB mendapatkan dispensasi perkawinan, sebuah angka yang menggarisbawahi realitas bahwa banyak pernikahan masih terjadi di bawah usia yang ditetapkan undang-undang.

Korelasi antara pernikahan dini dengan kondisi ekonomi masyarakat menjadi sorotan utama. Persoalan ekonomi, meskipun tidak diakui sebagai alasan sah untuk pemberian dispensasi kawin, seringkali menjadi pendorong utama. Keluarga cenderung menikahkan anaknya di usia muda dengan harapan mengurangi beban ekonomi rumah tangga, meskipun pada kenyataannya, hal tersebut kerap menambah beban baru.

Kabupaten Lombok Tengah menghadapi tantangan signifikan dalam mengentaskan kemiskinan. Data dari BPS menunjukkan bahwa pada Maret 2024, jumlah penduduk miskin di Lombok Tengah mencapai 122,32 ribu jiwa, dengan persentase kemiskinan sebesar 12,07 persen. Meskipun angka ini menunjukkan penurunan 0,86 persen poin dari Maret 2023, kemiskinan tetap menjadi akar masalah yang memicu berbagai persoalan sosial, termasuk pernikahan dini. Penurunan angka kemiskinan ini dikaitkan dengan faktor-faktor seperti pertumbuhan ekonomi, penurunan pengangguran, dan peningkatan konsumsi rumah tangga.

Sumber: BPS NTB

Sementara itu, terkait ketenagakerjaan, tingkat pengangguran terbuka di Provinsi NTB mencapai 102 ribu orang pada Mei 2025. Tingkat pengangguran terbuka (TPT) NTB mengalami penurunan 0,07 persen menjadi 2,73 persen pada tahun 2024. Meskipun data spesifik TPT untuk Lombok Tengah secara langsung belum tersedia dalam laporan yang mudah diakses, kontribusi terhadap pengangguran di tingkat provinsi tentu berdampak pada kabupaten ini, terutama jika mempertimbangkan bahwa sebagian besar penduduk miskin seringkali adalah mereka yang setengah menganggur atau memiliki pekerjaan yang tidak stabil.

Kondisi ekonomi yang serba sulit dan minimnya lapangan pekerjaan yang memadai di kampung halaman, menjadi salah satu alasan kuat bagi banyak warga Lombok Tengah, khususnya para pemuda, untuk memilih jalan hidup sebagai Pekerja Migran Indonesia (PMI). Data menunjukkan bahwa pada periode Januari-Juni 2023, Lombok Tengah menyumbang angka PMI terbanyak di NTB, dengan total 5.148 orang Pekerja Migran Indonesia. Mayoritas dari mereka, sekitar 61,3%, adalah perempuan yang bekerja di sektor informal, seperti asisten rumah tangga. Arus migrasi ini tidak hanya mencerminkan tantangan pengentasan pengangguran, tetapi juga dilema sosial di mana pilihan migrasi kerap menjadi satu-satunya alternatif demi kelangsungan hidup, terkadang dengan konsekuensi sosial yang kompleks bagi keluarga yang ditinggalkan, termasuk risiko pernikahan dini bagi anak-anak.

Berbagai pihak, mulai dari pemerintah daerah hingga lembaga swadaya masyarakat, telah melakukan upaya untuk menekan angka pernikahan dini. Program-program pendewasaan usia perkawinan, sosialisasi kesehatan reproduksi, hingga deklarasi stop pernikahan anak telah diimplementasikan di sekolah-sekolah dan komunitas. Namun, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menggarisbawahi bahwa tingginya perkawinan anak di Lombok Tengah mencerminkan masih lemahnya regulasi, pengawasan, dan edukasi masyarakat.

Untuk mengatasi permasalahan pernikahan dini secara holistik, dibutuhkan pendekatan multi-sektoral yang tidak hanya fokus pada edukasi dan penegakan hukum, tetapi juga pada peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Program pelatihan kerja, bantuan sosial, dan upaya pemberdayaan ekonomi bagi keluarga kurang mampu dapat menjadi kunci untuk memutus mata rantai kemiskinan yang kerap memicu pernikahan anak di Lombok Tengah. Selain itu, perhatian lebih juga perlu diberikan pada perlindungan dan pemberdayaan para PMI serta keluarganya, agar pilihan migrasi tidak menjadi jalan tanpa pilihan, melainkan keputusan yang terencana dan aman.