
MATARAM – Kota Mataram menghadapi tantangan serius dalam penanganan Tuberkulosis (TBC) setelah data menunjukkan lonjakan kasus yang mengkhawatirkan selama lima tahun terakhir. Angka penderita yang terus meroket, hampir melipatgandakan diri dalam kurun waktu singkat, menimbulkan pertanyaan mendesak tentang faktor penyebab dan urgensi tindakan preventif, terutama terkait kebiasaan merokok yang menjadi pemicu utama.
Data penderita TBC di Mataram mencatat peningkatan yang dramatis: dari 639 orang pada tahun 2020, jumlahnya melonjak menjadi 694 orang pada 2021, lalu melonjak tajam ke 1124 orang pada 2022. Tren kenaikan ini terus berlanjut hingga 1275 orang pada 2023, dan mencapai puncaknya pada 2036 orang di tahun 2024. Dalam kurun waktu lima tahun saja, terjadi peningkatan kasus sekitar 218,6% atau lebih dari tiga kali lipat. Angka ini jauh melampaui pertumbuhan populasi normal, mengindikasikan adanya faktor-faktor risiko yang semakin dominan di tengah masyarakat. Lonjakan ini menjadi alarm bagi sistem kesehatan dan masyarakat Mataram untuk segera mengambil langkah konkret.
Salah satu korelasi kuat yang patut disorot dari peningkatan kasus TBC adalah hubungan antara penyakit ini dengan kebiasaan merokok. Tuberkulosis, yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis, menyerang paru-paru dan dapat menyebar melalui udara. Merokok telah lama diidentifikasi sebagai faktor risiko utama yang melemahkan sistem kekebalan tubuh, khususnya pada saluran pernapasan. Perokok memiliki risiko 2,5 kali lebih tinggi untuk terinfeksi TBC laten dan 2 kali lebih tinggi untuk mengembangkan TBC aktif dibandingkan non-perokok. Zat-zat kimia berbahaya dalam rokok merusak silia paru-paru yang berfungsi membersihkan bakteri, membuat paru-paru lebih rentan terhadap infeksi TBC. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika peningkatan kasus TBC di Mataram mungkin memiliki keterkaitan erat dengan prevalensi perokok di kota tersebut, menciptakan lingkaran setan antara kebiasaan buruk dan kerentanan terhadap penyakit.
Melihat data yang mengkhawatirkan dan hubungannya dengan faktor risiko seperti merokok, seruan untuk hidup sehat bukan lagi sekadar rekomendasi, melainkan sebuah keharusan mendesak. Untuk menekan laju penyebaran TBC di Mataram, langkah-langkah preventif harus diintensifkan. Ini mencakup kampanye besar-besaran untuk berhenti merokok dan menghindari paparan asap rokok, baik sebagai perokok aktif maupun pasif. Selain itu, menjaga kebersihan diri dan lingkungan, terutama di ruang publik dan padat penduduk, menjadi krusial. Peningkatan gizi masyarakat, udara yang bersih, dan ventilasi rumah yang memadai juga berperan penting dalam membangun kekebalan tubuh yang kuat. Masyarakat didorong untuk melakukan deteksi dini TBC jika mengalami gejala batuk berkepanjangan, demam, atau penurunan berat badan, serta segera mencari penanganan medis. Pemerintah dan lembaga kesehatan perlu memperkuat program edukasi, skrining massal, dan dukungan bagi penderita untuk memastikan kepatuhan pengobatan, demi Mataram yang lebih sehat dan bebas TBC.