Data Kekerasan di NTB Tahun 2020-2024: Kekerasan Seksual Dominan, Solusi Masih Tertinggal

0
89
Keterangan Foto: Anak Kecil di Tengah Kumpulan Orang Dewasa, Kepolosan yang Harus Dijaga

Mataram, 19 Juni 2025 – Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) mencatat tren kekerasan yang signifikan selama lima tahun terakhir, dengan kekerasan seksual secara konsisten berada pada posisi tertinggi. Berdasarkan data resmi dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), tiga jenis kekerasan yang paling sering terjadi di NTB pada periode 2020 hingga 2024 adalah kekerasan seksual, kekerasan psikis, dan kekerasan fisik.

Pada tahun 2020, tercatat 262 kasus kekerasan seksual, 63 kasus kekerasan psikis, dan 352 kasus kekerasan fisik. Tahun berikutnya, 2021, menunjukkan peningkatan pada dua jenis kekerasan: kekerasan seksual naik menjadi 275 kasus, kekerasan psikis melonjak menjadi 186 kasus, sementara kekerasan fisik sedikit menurun menjadi 321 kasus.

Keterangan Foto: Grafik Data Kekerasan di NTB Tahun 2020
Keterangan Foto: Grafik Data Kekerasan di NTB Tahun 2021

Tahun 2022 menjadi tahun dengan jumlah kekerasan tertinggi di seluruh kategori. Kekerasan seksual tercatat sebanyak 449 kasus, kekerasan psikis 470 kasus, dan kekerasan fisik 426 kasus. Ketiga jenis kekerasan tersebut mencapai puncaknya dalam satu tahun, menunjukkan kondisi yang memerlukan perhatian serius dan intervensi mendalam dari berbagai pihak.

Keterangan Foto: Grafik Data Kekerasan di NTB Tahun 2022

Pada tahun 2023, angka kekerasan menurun dibandingkan tahun sebelumnya. Kekerasan seksual tercatat sebanyak 390 kasus, kekerasan psikis 144 kasus, dan kekerasan fisik 285 kasus. Tahun 2024 menunjukkan stabilisasi pada tingkat kekerasan yang masih tinggi, dengan kekerasan seksual sebanyak 385 kasus, kekerasan psikis 169 kasus, dan kekerasan fisik 276 kasus.

Keterangan Foto: Grafik Data Kekerasan di NTB Tahun 2023
Keterangan Foto: Grafik Data Kekerasan di NTB Tahun 2024

Secara kumulatif, jumlah kekerasan seksual yang tercatat di NTB dari tahun 2020 hingga 2024 mencapai 1.761 kasus. Kekerasan psikis tercatat sebanyak 1.032 kasus, sementara kekerasan fisik berjumlah 1.660 kasus. Dari data ini terlihat bahwa kekerasan seksual selalu berada dalam posisi teratas selama lima tahun berturut-turut, disusul oleh kekerasan fisik, dan kemudian kekerasan psikis.

Data ini dihimpun dari sistem pelaporan KemenPPPA yang diperbarui secara berkala, dan mencerminkan laporan langsung dari lapangan serta hasil pemantauan lembaga terkait. Penyajian angka-angka ini menunjukkan bahwa kekerasan bukanlah fenomena sporadis, melainkan persoalan struktural yang terus berulang setiap tahunnya.

Tingginya angka kekerasan, terutama kekerasan seksual, menandakan bahwa upaya pencegahan dan penanganan kekerasan masih belum optimal. Meski berbagai program perlindungan telah digulirkan, data lima tahun terakhir menunjukkan bahwa strategi penanganan kekerasan masih menghadapi hambatan serius. Minimnya pendampingan lanjutan terhadap korban, keterbatasan akses layanan psikososial di daerah pelosok, serta kurangnya edukasi preventif menjadi faktor yang memperkuat rantai kekerasan, khususnya kekerasan seksual.

Absennya perubahan signifikan dalam tren angka juga menandakan bahwa solusi yang ada belum menjangkau akar masalah secara menyeluruh. Dampak dari kekerasan tersebut tidak hanya dirasakan oleh korban secara langsung, tetapi juga mempengaruhi kondisi psikologis, sosial, dan ekonomi keluarga serta masyarakat sekitar

Maka dari itu, menilik periode 2020-2024, data ini seharusnya menjadi alarm sosial yang tidak bisa lagi diabaikan. Tren kekerasan yang berulang menegaskan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan perlindungan, termasuk komitmen lembaga-lembaga yang terlibat di dalamnya. 

Tanpa komitmen lintas sektor dan pendekatan yang lebih holistik, kekerasan akan terus menjadi siklus yang diwariskan dari tahun ke tahun, meninggalkan trauma yang tak hanya dirasakan korban, tetapi juga diwariskan ke generasi berikutnya. NTB, dengan segala kekayaan budayanya, harus menjadi ruang aman bagi setiap individu, bukan menjadi catatan angka kekerasan yang terus bertambah.