Jalan Pacu Kebun Sari, Ampenan

Mataram Pelanggaran lalu lintas di pertigaan Jalan Kebun Sari-Ampenan sudah menjadi pemandangan sehari-hari. Rambu yang mewajibkan pengendara untuk belok kiri kerap diabaikan, dan arus kendaraan terus saja melaju lurus tanpa mengindahkan larangan.

Situasi ini makin mencolok saat jam-jam sibuk, seperti pagi dan sore hari ketika warga berangkat dan pulang kerja. Arus kendaraan meningkat tajam, dan banyak pengendara memilih melanggar rambu demi menghemat waktu tempuh.

Berdasarkan pemantauan langsung selama satu jam dari pukul 16.00-17.00 WITA, pada Minggu (15/6) tercatat puluhan pengendara mobil maupun motor nekat melaju lurus meski sudah ada rambu larangan yang jelas. Hampir setiap menit, ada saja kendaraan yang menerobos tanpa ragu. Sebagian hanya menoleh sebentar ke arah rambu, lalu tetap melaju lurus seolah sudah terbiasa.

“Kalau saya belok kiri, harus muter. Jadinya saya milih lurus supaya lebih cepat sampai ke tempat kerja ,” kata Ahsan (36), seorang pengendara motor yang dijumpai di lokasi. Ia mengaku sudah hafal jalan tersebut dan memilih lurus karena lebih cepat sampai ke tujuan.

Senada dengan Ahsan, pengendara lainnya, Rahma (23) mengatakan bahwa rambu tersebut tidak cocok bagi warga yang tinggal di sekitar pertigaan. “rumah saya persis di depan pertigaan ini.  jadi kalau harus belok kiri mutarnya jauh bisa tiga menitan. Padahal rumah tinggal selangkah, makanya saya pilih lurus aja,” ujarnya.

Padahal Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, menyatakan bahwa setiap pengendara wajib mematuhi rambu lalu lintas. Pelanggaran terhadap rambu, termasuk larangan arah, dapat dikenakan sanksi berupa kurungan paling lama dua bulan dan denda paling banyak Rp500.000, sebagaimana tercantum dalam Pasal 287 ayat (1) UU tersebut.

Namun realitanya, aturan itu seolah hanya sebatas tulisan. Rambu “Dilarang Lurus” dan “Wajib Belok Kiri” memang terlihat jelas berdiri kokoh di samping jalan, namun tidak ada petugas ataupun kamera pengawas yang memantau. Sehingga, pelanggaran berlangsung tanpa hambatan dan perlahan dianggap wajar.

Salah satu warga sekitar, Bu Nia (49), yang membuka warung nasi tak jauh dari pertigaan, mengaku sudah terbiasa melihat kendaraan menerobos. “Kalau pagi dan sore hari pertigaan rame, apalagi yang dari arah berlawanan banyak yang nerobos, kadang macet di tengah pertigaan karena tidak ada yang mau ngalah ,” jelasnya.

Situasi ini menimbulkan dilema antara kebutuhan efisiensi dan keselamatan di jalan. Tanpa adanya pengawasan dan perbaikan sistem lalu lintas yang seuai dengan kebutuhan warga, pelanggaran semacam ini bukan hanya akan terus berlangsung, tapi makin sulit untuk dihentikan.