Warisan budaya adalah harta berharga yang harus dilestarikan bersama. Aset berharga ini mengandung nilai-nilai yang menjadi medium pembelajaran reflektif di tengah arus modernisasi yang berubah cepat. Warisan budaya bukan sebatas dongeng seru yang diceritakan sebelum tidur, melainkan pintu menuju jati diri bangsa. Oleh karena itu, pengelolaan warisan budaya, baik oleh pemerintah maupun masyarakat secara umum, patut ditinjau lebih dalam.
Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan Nomor 5 Tahun 2017, menyatakan bahwa terdapat 10 objek pemajuan kebudayaan sebagai sasaran utama upaya peningkatan ketahanan dan kontribusi budaya. 10 objek tersebut, yakni tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, ritus, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa, permainan rakyat, dan olahraga tradisional. Objek-objek tersebut beragam, baik berupa warisan budaya benda yang dapat dilihat hingga sekarang maupun non-benda yang dapat dirasakan dalam kehidupan sehari-hari. Warisan budaya dalam bentuk benda mayoritas terhimpun dalam kategori objek cagar budaya.
Pelestarian warisan budaya, baik berupa benda maupun non-benda, menjadi salah satu tanggung jawab dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Nusa Tenggara Barat (NTB). Upaya penetapan objek menjadi cagar budaya dilakukan dengan prosedur tertentu sehingga Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dapat disalurkan untuk program perlindungan, pelestarian, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan. Adapun objek cagar budaya meliputi benda, struktur, bangunan, situs, dan kawasan.
Nusa Tenggara Barat memiliki 11 cagar budaya yang telah ditetapkan secara nasional dalam bentuk bangunan dan situs. Cagar budaya tersebut, seperti Istana Bima Asi Mbojo, Masjid Kuno Bayan Beleq, Masjid Kuno Rambitan, dan Masjid Raudatul Muttaqin. Sementara cagar budaya situs seperti Kompleks Makam Selaparang, Makam Serewa, Masjid Kuno Gunung Pujut, Pura Meru Cakranegara, Taman Lingsar, Taman Mayura, dan Taman Narmada. Selain itu, masih terdapat sekitar 1000 Objek Diduga Cagar Budaya (ODCB) yang belum ditetapkan, meliputi candi, senjata tradisional, makam, sarkofagus, hingga sumur.
Proses penetapan suatu objek menjadi cagar budaya dimulai dari penerimaan laporan eksistensi ODCB oleh masyarakat, komunitas, atau pemerintah kabupaten/kota. Laporan akan ditindaklanjuti oleh Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) dengan melakukan pengecekan secara langsung ke lapangan. Jika sesuai, maka TACB akan membuatkan rekomendasi agar Bupati/Wali Kota mengeluarkan surat keputusan penetapan cagar budaya. Beberapa kriteria yang dibutuhkan mencakup usia objek telah lebih dari 50 tahun serta mengandung nilai-nilai historis, religius, kultural, dan sebagainya.
“Jika ada laporan masuk, pelapor akan diminta mengisi formulir yang telah disediakan. Setelah formulir ini dikembalikan dan teregistrasi, objek tersebut resmi berstatur Objek Diduga Cagar Budaya (ODCB). Selanjutnya, formulir dan data ODCB tersebut diteruskan kepada Tim Ahli Cagar Budaya (TACB),” jelas H. Azizuddin, S.Pd., M.Kes. selaku Pamong Budaya Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTB.
Apabila sudah ditetapkan pada level kabupaten/kota, cagar budaya juga bisa diajukan lagi oleh TACB agar ditetapkan oleh pemerintah provinsi melalui berbagai pertimbangan. Begitu juga prosesnya jika ingin mengajukan suatu objek menjadi cagar budaya penetapan nasional. Peresmian di berbagai level ini akan membantu proses pemeliharaan hingga pengembangan objek melalui alokasi anggaran yang lebih banyak serta pemusatan sumber daya yang lebih intens. Meski begitu, Azizuddin mengakui bahwa sejauh ini tidak ada perbedaan yang signifikan setelah cagar budaya ditetapkan secara nasional ataupun hanya di tingkat kabupaten/kota saja.
Azizuddin selaku Koordinator Bidang Kebudayaan dan Tim Blususkan melakukan sesi foto bersama setelah sesi wawancara di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTB (13/06)
Peran TACB dalam penetapan cagar budaya cukup krusial, namun kehadirannya belum lengkap di seluruh kabupaten/kota Provinsi NTB. Sejauh ini, TACB baru ada di Lombok Barat, Lombok Timur, Sumbawa, dan Lombok Utara. Kurangnya sumber daya manusia yang mumpuni menjadi salah satu alasan utama. TACB yang sudah ada pun masih mengalami masalah kekurangan anggota. Sebagai contoh, TACB di Lombok Utara baru terdiri dari satu anggota saja. Sementara itu, di provinsi, verifikator yang telah mengikuti uji kompetensi baru satu orang.
Selain berperan dalam penetapan cagar budaya, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTB juga bekerja sama dengan instansi lain untuk menjamin pelestarian budaya terlaksana dalam berbagai aspek. Instansi ini bertanggung jawab dalam upaya pengarusutamaan kebudayaan pada satuan pendidikan formal maupun non-formal. Kerja sama dengan Kementerian Hukum dan HAM juga dilakukan untuk memastikan aspek legalitas warisan budaya yang terdaftar dan dilindungi secara hukum. Beberapa instansi juga terbentuk di bawah naungan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTB, salah satunya adalah museum.
Museum Provinsi Nusa Tenggara Barat memegang mandat utama dalam pelestarian warisan budaya benda. Peran museum, meliputi perlindungan, pelestarian, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan. Museum ini telah menghimpun 7.721 koleksi benda bersejarah sejak pertama kali didirikan pada 1976 lalu. Sejumlah warisan budaya tersebut dibagi ke dalam 11 kategori, yaitu geologika, biologika, etnografika, arkeologika, historika, numismatika atau heraldika, filologika, keramologika, seni rupa, teknologika, dan lain-lain. Koleksi museum didominasi oleh kategori etnografi yang berkaitan dengan benda-benda dalam daur hidup masyarakat.
Salah satu benda bersejarah di Museum NTB (Sumber: TravelBiz)
Museum menghimpun benda-benda warisan budaya melalui beberapa metode, yaitu ganti rugi, hibah, penitipan, dan pengamanan barang sitaan. Pamong Budaya Museum Provinsi NTB Itsna Hadi Saptiawan, menyampaikan bahwa sebelum tahun 2010, museum memiliki tim ekspedisi ke seluruh kabupaten/kota di NTB untuk mengumpulkan warisan budaya benda. Dalam upaya melengkapi koleksi, museum mengajukan tawaran ganti rugi kepada masyarakat yang mempunyai barang bersejarah. Pada beberapa kasus, masyarakat justru secara sukarela menyumbangkan barang bernilai sejarah agar dirawat di museum. Namun, jika masyarakat ingin status kepemilikan masih milik pribadi, maka barang dapat dititipkan saja kepada museum yang terbukti mampu memberikan perawatan layak.
Selain ketiga cara tersebut, museum juga bertanggung jawab mengelola barang sitaan yang tidak dapat dikelola oleh pihak lain. Barang sitaan yang dimaksud biasanya berasal dari upaya perdagangan barang terlarang, seperti keramik dan benda bernilai lainnya. Para pedagang yang melihat potensi keuntungan tinggi dari penjualan barang terlarang berusaha menjual produk ke luar daerah. Namun ketika berhasil digagalkan, maka barang-barang sitaan tersebut dapat diserahkan kepada museum.
Setelah tahun 2010, sistem otonomi daerah membuat pengelolaan museum juga berubah. Museum yang awalnya secara langsung berada di bawah kementerian pusat, kini menjadi tanggung jawab daerah secara penuh. Perubahan jumlah anggaran turut terjadi yang memberikan dampak signifikan terhadap implementasi program-program pelestarian budaya. Tidak ada lagi dana rutin kegiatan hingga dana teknis yang mendukung ekspansi koleksi benda. Upaya pengadaan koleksi dengan ganti rugi kepada masyarakat pun ditiadakan. Alhasil, museum bersifat pasif dengan hanya menerima hibah dan titipan dari masyarakat, serta hanya fokus pada perawatan warisan budaya benda yang ada di museum.
“Kalau dulu sebelumnya tu biasanya ada tim dari sini berangkat ke mana, ke Lombok Utara, Lombok Timur, ke Dompu, sampai Bima untuk pemetaan koleksi apa yang belum kita punya. Kita cari kira-kira di mana tempatnya,” jelas Itsna.
Museum menerapkan perawatan koleksi benda-benda bersejarah melalui dua cara, yakni secara organik dan kimia. Perawatan organik memanfaatkan bahan-bahan alami yang mudah ditemukan di lingkungan sekitar seperti kelapa dan jeruk nipis untuk membersihkan keris. Sementara itu, perawatan kimia dilakukan dengan memanfaatkan zat-zat khusus yang dapat memaksimalkan perawatan benda. Tujuan utama perawatan adalah untuk memperlambat kerusakan agar bentuk fisik warisan budaya dapat disaksikan dan dipelajari oleh generasi mendatang.
Penanggung jawab perawatan museum setiap harinya berkisar pada tiga sampai empat orang saja. Itsna mengakui bahwa jumlah tersebut tidak sebanding dengan jumlah koleksi yang ada. Dengan total 7.721 koleksi, kehadiran tiga sampai empat orang memberikan beban kerja yang tinggi terhadap para penanggung jawab. Perawatan yang harus mereka lakukan meliputi perawatan preventif dan kuratif. Perawatan preventif untuk mencegah terjadinya kerusakan, sementara perawatan kuratif dilakukan terhadap benda rusak yang membutuhkan sejumlah tindakan di laboratorium museum.
Selain berperan dalam pengelolaan warisan budaya benda, Museum Provinsi Nusa Tenggara Barat juga turut serta melaksanakan edukasi kultural kepada masyarakat luas. Salah satu bentuknya yakni dengan mengadakan kursus filologi setiap tahun. Kursus ini menekankan pada pembelajaran naskah lontar, meliputi cara membaca hingga kritik dan analisis terhadap makna naskah dalam konteks lokal.
Provinsi Nusa Tenggara Barat sendiri memiliki 1.275 naskah manuskrip yang terhimpun di museum. Naskah-naskah lontar NTB seringkali disebut sebagai repertoar, yakni pencerminan dari lontar yang ada di Jawa maupun Bali.
Sayangnya, Museum Provinsi Nusa Tenggara Barat itu sendiri sedang mengalami krisis ahli penerjemah naskah lontar. Itsna mengatakan bahwa selain membutuhkan ahli yang memahami cara membaca aksara, museum juga membutuhkan ahli penerjemah naskah lontar dalam konteks lokal untuk menjamin relevansi terjemahan terhadap kondisi masyarakat NTB.
Perlu diakui bahwa secara umum Museum Provinsi Nusa Tenggara Barat terkendala ketersediaan sumber daya manusia (SDM). Kebutuhan SDM di museum secara ideal yang, meliputi registrar, kurator, konservator, edukator, dan preparator tidak terpenuhi secara maksimal. Registrar bertanggung jawab untuk menerima koleksi dan mencatatnya dengan deskripsi yang detail. Sementara itu, kurator bertanggung jawab untuk meneliti latar belakang sejarah dan nilai-nilai lain yang dimiliki sebuah warisan budaya benda. Konservator bertanggung jawab untuk merawat koleksi museum. Sedangkan edukator atau yang bisa disebut juga sebagai pemandu museum bertugas untuk mengarahkan dan mengedukasi pengunjung terkait warisan budaya lokal. Terakhir, preparator mengatur penyiapan lemari dan tata letak koleksi untuk pameran. Akan tetapi, realita menunjukkan bahwa satu orang dapat memegang beberapa tanggung jawab sekaligus akibat minimnya ketersediaan sumber daya manusia.
Meski mengalami sejumlah keterbatasan, pengelolaan warisan budaya benda kini tidak hanya bertumpu pada museum, melainkan juga pengembangan gudang-gudang barang pusaka di masyarakat. Beberapa daerah yang memiliki gudang pusaka, seperti Karang Bayan, Jerowaru, Gangga hingga Suela mempunyai tempat khusus untuk menyimpan benda-benda warisan budaya seperti pakaian adat, alat-alat tradisional, dan lain-lain. Azizuddin mengatakan bahwa penempatan barang-barang pusaka di daerah-daerah menjadi daya tarik wisata yang dapat dimanfaatkan masyarakat sekitar. Ini menjadi cikal bakal museum inklusi yang melibatkan partisipasi masyarakat secara aktif sekaligus menjalin kolaborasi antara museum dan masyarakat adat.
“Ada konsepnya museum inklusi, artinya masyarakat diberdayakan untuk mengelola sendiri. Jadi kalau misalnya masyarakat sepakat untuk buat museum sendiri, kami dari museum tinggal pembinaan aja, cara pengelolaan gimana, merawatnya gimana. Kalau diserahkan ke museum, malah ga pas juga nanti,” ungkap Itsna.
Itsna menuturkan bahwa gudang-gudang barang pusaka di masyarakat dapat disahkan menjadi museum inklusi dengan mendaftarkan diri melalui dinas yang membidangi urusan kebudayaan. Dinas tersebut akan mengusulkan nomor pendaftaran registrasi nasional yang akan dilanjutkan pada level kabupaten/kota hingga ke tingkat kementerian. Verifikator nantinya akan mengecek dokumen-dokumen, ketersediaan sumber daya manusia sebagai pengelola, kepastian pendanaan, dan lain-lain. Jika sudah lengkap, maka pengajuan museum inklusi dapat diteruskan ke kementerian. Salah satu contoh museum yang telah diresmikan, seperti Museum Desa Ganggelap di Lombok Utara, Museum Balada Turanga di Sumbawa, dan Museum Samparaja di Bima.
Hal ini sekaligus mendukung program Kampungku Museumku yang dicanangkan oleh Museum Provinsi NTB. Program ini bertujuan untuk memaksimalkan potensi pengelolaan benda sejarah di masyarakat agar berdaya guna, seperti menjadi objek wisata sejarah. Selain itu, masyarakat dapat mengalirkan pengetahuan secara langsung mengenai benda sejarah. Pengembangan ini tidak hanya penting sebagai alternatif preservasi, tetapi juga bermanfaat secara luas bagi perekonomian masyarakat setempat. Sebagai contoh, Desa Lembar Selatan pernah memperoleh Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) pada tahun 2023 dengan warisan budaya sebagai salah satu daya tarik utama. Situs Makam Keramat tokoh penyebar agama Islam, Syekh Al-Baghdadi, adalah salah satu destinasi utama yang patut dikunjungi. Wisata religi melalui ziarah terhadap warisan budaya benda mampu menarik turis dari berbagai daerah. Peluang usaha terbuka, sumber pendapatan daerah juga bertambah.
Dengan kehadiran museum inklusi, tugas Museum Provinsi Nusa Tenggara Barat tidak semata-mata hilang. Museum tetap memiliki tanggung jawab etika untuk memberikan sosialisasi perawatan barang-barang pusaka. Terutama terkait penggunaan bahan kimia dalam merawat warisan budaya benda. Museum juga wajib melakukan observasi pada waktu-waktu tertentu untuk memastikan perawatan warisan budaya benda terlaksana dengan baik.
Meski begitu, beberapa kendala muncul. Pengawasan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan selama ini menunjukkan bahwa perawatan yang diterapkan belum sesuai standar, baik dari tata cara penempatan hingga perawatan rutin, sehingga mengurangi nilai estetika dan meningkatkan risiko kerusakan benda. Instansi pemerintahan tentunya menawarkan opsi hibah atau penitipan benda di museum. Namun, tidak bisa memaksa juga kalau masyarakat lebih memilih menjaga warisan budaya benda secara mandiri.
Sementara itu, Pengraksa Agung Majelis Adat Sasak menyampaikan pendapatnya terkait pengelolaan warisan budaya di NTB. Pengraksa Agung atau Ketua Adat, Dr. Lalu Sajim Sastrawan, S.H., M.H., atau biasa disapa Mamiq Sajim menyampaikan apresiasinya terhadap upaya pelestarian budaya oleh museum. Ia juga menjelaskan esensi perawatan benda bersejarah oleh masyarakat adat. Meski museum mampu menyediakan sejumlah fasilitas, tetapi prosesi adat yang krusial tidak menjadi perhatian. Berbeda dengan pengelolaan warisan budaya oleh masyarakat adat yang memahami tradisi esensial dalam memperlakukan barang pusaka.
Dr. Lalu Sajim Sastrawan, S.H., M.H. sebagai Pengraksa Agung memberikan penjelasan terkait Warisan Budaya Lombok saat ditemui di kediamannya (17/06)
Ia juga menuturkan bahwa masalah pengelolaan benda bukan semata-mata cara atau metode perawatan yang diterapkan terhadap objek. Akan tetapi, menyangkut kepedulian dan semangat generasi muda terhadap pelestarian warisan budaya.
“Bukan harapan pada pelestariannya, sekarang harapan pada generasinya [pemuda-pemudi] bagaimana dia memandang [warisan budaya],” ucap Mamiq Sajim.
Upaya pelestarian warisan budaya benda di NTB selama ini telah melalui sejumlah tantangan, baik itu berasal dari pemerintah maupun masyarakat. Dari sisi pemerintah, masalah ketersediaan tenaga ahli, pemenuhan anggaran, dan peningkatan fasilitas menjadi permasalahan utama yang mempengaruhi pengelolaan warisan budaya. Sementara itu, dari sisi masyarakat, kesadaran terhadap nilai-nilai krusial warisan budaya masih rendah sehingga apresiasi terhadap cagar budaya minim.
Pemerintah memegang peranan penting dalam menjaga warisan budaya. Penyelesaian masalah sumber daya manusia hingga penyesuaian anggaran menjadi kunci perubahan yang telah diharapkan oleh para pelaku konservasi budaya. Salah satu upaya pemerintah dalam menanggulangi permasalahan tersebut adalah mencetus program Kampungku Museumku. Program ini bertujuan untuk memaksimalkan potensi pengelolaan benda sejarah oleh masyarakat adat agar berdaya guna, seperti menjadi objek wisata sejarah. Selain itu, masyarakat dapat mengalirkan pengetahuan secara langsung mengenai benda sejarah tersebut. Selain itu, masyarakat adat memiliki tata cara perawatan benda sejarah yang sesuai dengan nilai adat istiadat yang berlaku. Oleh karena itu, kesadaran masyarakat dalam mengapresiasi budaya menjadi hal yang tidak kalah penting untuk diperhatikan. Pemerintah mendorong adanya kolaborasi dengan masyarakat setempat. Pelestarian secara kolektif menjadi strategi yang patut dilakukan agar warisan budaya dapat terjaga dalam waktu lama.
TIM BLUSUKAN: Elya Trainy Ardaelifa, Ida Ayu Made Widya Astiti, dan Natha Apsara